AMBON - BERITA MALUKU. Usulan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buru Selatan, kepada pemda untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, Bupati - Wakil Bupati, terbilang fantasis.
Mengingat usulan anggaran untuk Pilkada yang akan berlangsung di tahun 2020 mendatang, mengalami kenaikan 300 persen, dibandingkan anggaran Pilkada di tahun 2015.
Bupati Buru Selatan (Bursel), Tagop Sudarsono, kepada awak media di kantor Gubernur, Selasa (10/09) mengungkapkan, keberatannya terhadap usulan anggaran tersebut.
"Berkaitan dengan anggaran ketika proses dengan menggunakan PKPU yang lama, lima tahun lalu 2015, anggaran yang diusulkan KPU tidak sebesar yang saat ini, naik 300 persen, tahun kemarin hanya Rp6 - 7 miliar, sekarang KPU mengusulkan sampai Rp25 miliar, belum lagi Bawaslu yang dulu hanya Rp2 miliar, sekarang mengusulkan anggaran sampai Rp17,5 miliar. Kemudian belum lagi nantinya usulan untuk keamanan," ujarnya.
Untuk itu, beberapa waktu lalu, dirinya sudah menyampaikan rekomendasi permohonan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar alokasi anggaran untuk Pilkada dirasionalisasi langsung ditingkat pusat dan ditransfer langsung dari pusat kepada KPU, sehingga tidak lagi memusingkan pemda.
"Mereka menganggap kalau mereka tidak diakomodir maka pelaksanaan Pilkada tidak jalan. Mereka pikir mereka penting, padahal dia tidak tahu bahwa yang lebih penting kesejahteraan masyarakat, fungsi pelayanan masyarakat APBD disitu," tandasnya.
Dirinya juga menyingung soal kenaikan Dana Alokasi Umum (DAU), tidak seperti yang dipikirkan teman-teman di KPU, DAU hanya bedasarkan deret hitung tidak berdasartkan deret ukur.
Kebutuhan berdasarkan deret ukur kenaikannya deret hitung, deret hitung kebutuhan 2,4,6,8,10, sementara kenaikan DAU dan penerimaan daerah hanya 1,2 dan 3, sehingga tidak mungkin terkejar, makanya harus dirasionalkan.
Untuk itu, dalam Pilkada kali ini, dirinya akan mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah Tempat Pengumutan Suara (TPS), dari sebelumnya 220, turun menjadi 180 atau 190-an, dirasionalkan dengan jumlah itu saja.
"Jadi yang dulu di desa karena pilpres dan pileg biayanya besar dari pusat, misalnya di dalam satu desa ada 6-7 TPS, kita kurangi menjadi 5 atau 4 saja, yang terpeting terpenuhi untuk pusat penyelenggaraan," tandasnya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Sub Direkatorat dan Tugas Pembantuan, Direktorat Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan, Dirjen Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, H.M. Budi Sudarmardi mengungkapkan, usulan anggaran oleh KPU, sebenarnya harus disesuaikan dengan kondisi APBD kabupaten setempat, yang akan melaksanakan Pilkada serentak.
"Kalau ada kegiatan seperti begini, apalagi kenaikan anggaran mencapai 300 persen sudah tidak masuk akal. jadi mungkin, usulan anggaran yang tidak rasional ini, bapak bisa sampaikan kepada KPU Pusat dengan tembusan Mendagri. kita nanti akan meyelesaikan ditingkat pusat, kewenangan ini ada Dierektorat Jenderal Keuangan Daerah, artinya jangan sampai menjadi beban APBD, karena APBD diperuntukan untuk rakyat, bukan hanya untuk Pilkada serentak," pungkasnya.
Menurutnya, ideal anggaran pelaksanaan Pilkada harus berasal dari APBN, karena berkaitan dengan urusan pemerintahan umum, sesuai teori pemerintah, ini memang dalam memilih pimpinan pemrintah pusat mempunyai kepentingan disitu, hanya sekarang ini anggaran di pusat menurut Kementerian keuangan tidak terlalu banyak. Namun ternyata, ada anggaran seperti itu ada pada Kanwil keuangan dui daerah, namun mereka mengungkpakan tidak ada.
Dirinya mencontohkan, dua tahun lalu meminta anggaran untuk kelurahan, dari Dirjen sampai kepala seksi tidak ada uang, dana yang dikelola Walikota kepada kelurahan sekitar 300-400 juta secara nasional 7 Triliun, dibilang tidak ada anggaran, namun ketika ditekan dari senayan lewat jalur politik, ternyata ada duitnya, artinya konsep kementerian keuangan harus pelit tidak benar juga.
"Semacam begini teman-teman yang bergerak di politik bisa menyampaikan kepada DPR atau DPD, agar anggaran Pilkada ini harus dari APBN, karena itu merupakan bagian anggaran dari KPU pusat," pintanya.
Mengingat usulan anggaran untuk Pilkada yang akan berlangsung di tahun 2020 mendatang, mengalami kenaikan 300 persen, dibandingkan anggaran Pilkada di tahun 2015.
Bupati Buru Selatan (Bursel), Tagop Sudarsono, kepada awak media di kantor Gubernur, Selasa (10/09) mengungkapkan, keberatannya terhadap usulan anggaran tersebut.
"Berkaitan dengan anggaran ketika proses dengan menggunakan PKPU yang lama, lima tahun lalu 2015, anggaran yang diusulkan KPU tidak sebesar yang saat ini, naik 300 persen, tahun kemarin hanya Rp6 - 7 miliar, sekarang KPU mengusulkan sampai Rp25 miliar, belum lagi Bawaslu yang dulu hanya Rp2 miliar, sekarang mengusulkan anggaran sampai Rp17,5 miliar. Kemudian belum lagi nantinya usulan untuk keamanan," ujarnya.
Untuk itu, beberapa waktu lalu, dirinya sudah menyampaikan rekomendasi permohonan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar alokasi anggaran untuk Pilkada dirasionalisasi langsung ditingkat pusat dan ditransfer langsung dari pusat kepada KPU, sehingga tidak lagi memusingkan pemda.
"Mereka menganggap kalau mereka tidak diakomodir maka pelaksanaan Pilkada tidak jalan. Mereka pikir mereka penting, padahal dia tidak tahu bahwa yang lebih penting kesejahteraan masyarakat, fungsi pelayanan masyarakat APBD disitu," tandasnya.
Dirinya juga menyingung soal kenaikan Dana Alokasi Umum (DAU), tidak seperti yang dipikirkan teman-teman di KPU, DAU hanya bedasarkan deret hitung tidak berdasartkan deret ukur.
Kebutuhan berdasarkan deret ukur kenaikannya deret hitung, deret hitung kebutuhan 2,4,6,8,10, sementara kenaikan DAU dan penerimaan daerah hanya 1,2 dan 3, sehingga tidak mungkin terkejar, makanya harus dirasionalkan.
Untuk itu, dalam Pilkada kali ini, dirinya akan mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah Tempat Pengumutan Suara (TPS), dari sebelumnya 220, turun menjadi 180 atau 190-an, dirasionalkan dengan jumlah itu saja.
"Jadi yang dulu di desa karena pilpres dan pileg biayanya besar dari pusat, misalnya di dalam satu desa ada 6-7 TPS, kita kurangi menjadi 5 atau 4 saja, yang terpeting terpenuhi untuk pusat penyelenggaraan," tandasnya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Sub Direkatorat dan Tugas Pembantuan, Direktorat Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan, Dirjen Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, H.M. Budi Sudarmardi mengungkapkan, usulan anggaran oleh KPU, sebenarnya harus disesuaikan dengan kondisi APBD kabupaten setempat, yang akan melaksanakan Pilkada serentak.
"Kalau ada kegiatan seperti begini, apalagi kenaikan anggaran mencapai 300 persen sudah tidak masuk akal. jadi mungkin, usulan anggaran yang tidak rasional ini, bapak bisa sampaikan kepada KPU Pusat dengan tembusan Mendagri. kita nanti akan meyelesaikan ditingkat pusat, kewenangan ini ada Dierektorat Jenderal Keuangan Daerah, artinya jangan sampai menjadi beban APBD, karena APBD diperuntukan untuk rakyat, bukan hanya untuk Pilkada serentak," pungkasnya.
Menurutnya, ideal anggaran pelaksanaan Pilkada harus berasal dari APBN, karena berkaitan dengan urusan pemerintahan umum, sesuai teori pemerintah, ini memang dalam memilih pimpinan pemrintah pusat mempunyai kepentingan disitu, hanya sekarang ini anggaran di pusat menurut Kementerian keuangan tidak terlalu banyak. Namun ternyata, ada anggaran seperti itu ada pada Kanwil keuangan dui daerah, namun mereka mengungkpakan tidak ada.
Dirinya mencontohkan, dua tahun lalu meminta anggaran untuk kelurahan, dari Dirjen sampai kepala seksi tidak ada uang, dana yang dikelola Walikota kepada kelurahan sekitar 300-400 juta secara nasional 7 Triliun, dibilang tidak ada anggaran, namun ketika ditekan dari senayan lewat jalur politik, ternyata ada duitnya, artinya konsep kementerian keuangan harus pelit tidak benar juga.
"Semacam begini teman-teman yang bergerak di politik bisa menyampaikan kepada DPR atau DPD, agar anggaran Pilkada ini harus dari APBN, karena itu merupakan bagian anggaran dari KPU pusat," pintanya.