Oleh Abdul Wahid
Wakil Direktur I Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
dan pengurus AP-HTN/HAN
Belakangan ini, sejumlah pejuang dan pembelajar hukum bidang ketatanegaraan, administrasi negara, dan etika profesi ditantang oleh hakim untuk mereaksi keras atas putusan-putusan yang dijatuhkannya. Diskusi dan penyikapan secara kritis dibuat untuk mencoba "meluruskan" keniscayaan sesat pemikiran, tafsir, dan keyakinan yang digunakannya.
Putusan MA dan PTUN yang mengabulkan atau memenangkan gugatan Oesman Sapta Odang (OSO) menjadi objek yang digugat.
Gugatan tentu saja ditujukan pada isi putusan yang dinilai oleh para pakar hukum sebagai putusan yang tidak berkeadilan dan mengaburkan kepastian hukum, pasalnya sebelumnya sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD RI.
Yang dipersoalkan para pakar di antaranya, mengapa putusan MK yang sudah final dan mengikat (final and binding) masih "dilanggar" oleh lembaga pengadilan lainnya (MA dan PTUN)? atau mengapa kinerja MK yang mendapatkan mandat melalui peradilan konstitusi tidak dihormati?
Jika yang jadi "mesin" penentu konstruksi dan marwah peradilan seperti hakim yang mengeksaminasi marwah ini, maka layak dikategorikan kalau ujiannya ini bersifat sangat serius (exstra ordinary). Namanya juga pilar, yang semestinya memilari peradilan, lantas hakim ini menjadi agen yang menguji dengan pola mengontaminasi, apalagi "mendestruksi" sistem, maka tentu pertaruhan besar terhadap marwah peradilan yang menjadi dampak buruknya.
Semestinya, hakim MA dan PTUN menghargai kinerja yang dilakukan oleh hakim konstitusi (MK) yang sudah lebih dahulu memutus perkara persyaratan pencalonan DPD RI. Bagaimanapun, hakim MK diberi kepercayaan secara khusus oleh negara dalam memutus permohonan judicial review, sehingga ketika sudah dijatuhkan putusan, berarti kepastian hukumnya sudah jelas dan tegas.
Apa yang diputuskan oleh hakim MA dan PTUN yang bertentangan dengan putusan MK itu sebenarnya menjadi representasi hakim-hakim yang "mengobral" otoritasnya, yang mengesankan kalau peran yang dimainkan adalah peran tak terbatas, yang bisa ditunjukkan sesuai dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Kita tentu belum lupa, misalnya penetapan tersangka atas Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh KPK yang kemudian dinyatakan tidak sah oleh Hakim Sarpin Rizaldi dalam sidang pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang dinilai oleh sebagian para pakar hukum sebagai perwujudan liberalitas profesi.