BERITA MALUKU. Selain didemo mahasiswa, sikap tegas juga disampaikan para tokoh adat Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), menyusul rencana PT. Tanjung Wana Sejahtera (TWS) yang akan melakukan pengelolaan hasil hutan kayu di kawasan hutan pegunungan kabupaten SBB, seluas 37.654 hektar.
Inti penolakan para tokoh adat SBB terhadap PT TWS, lantaran di kawasan tersebut terdapat pohon-pohon dammar yang merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat pegunungan selama beratus-ratus tahun.
Pengalaman pahit PT Kora-Kora Jayanti Grup yang menebang sekitar 17. 5000 pohon damar di kawasan tersebut sejak tahun 1983-1988, menjadi kekhawatiran masyarakat adat setempat apabila PT TWS dapat beroperasi di kawasan yang sama, maka pohon-pohon dammar yang kini dipelihara dan dijaga masyarakat akan ditebang kembali.
Sesuai isi surat yang ditujukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal di Jakarta yang ditandatangani oleh empat orang tokoh adat, atas nama masyarakat adat SBB, masing-masing E. Makaruku, R.Sohaly, J. Ririne dan Matital, menolak dengan tegas PT TWS untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan tersebut.
Pertama, pada kawasan hutan di pegunungan SBB tepatnya di pegunungan kecamatan Taniwel, Taniwel Timur, Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Kairatu Barat, Kecamatan Ina Mosol dan kecamatan Elpaputih terdapat pohon-pohon damar/Agathis yang selama ini dilindungi secara ketat oleh masyarakat adat karena merupakan sumber pendapatan utama bagi mereka khusus masyarakat adat di pegunungan.
Kedua, sejak Tahun 1983- 1988 PT Kora-Kora yang tergabung dalam Jayanti Grup telah melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di Seram Bagian Barat tepatnya di pegunungan wilayah kecamatan Taniwel, Taniwel Timur, Seram Barat, Kairatu Barat, Ina Mos ol dan Elpaputih. Akibatnya sekitar 17.500 pohon dammar/agathis produktif dari negeri Nuruwe, Lohia Tala, Rumberu, Rambatu, Manusa, Kamal, Lumoli, Rumahsoal, Neniari dan Riring berhasil ditebang oleh perusahaan.
Namun demikian pemilik pohon dammar tetap berusaha mempertahankan/mengadakan perlindungan terhadap pohon-pohon damar yang masih ada (luput dari penebangan) melalui perjuangan berat selama 5 tahun 1983-1988).
Masih kata isi surat mereka, akhirnya masyarakat pemilik pohon damar menyurat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang keluhan mereka dan akhirnya ditanggapi secara positif, sehingga saat itu perusahaan PT Kora-Kora menghentikan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan pegunungan Seram Bagian Barat, tepatnya di lokasi yang menjadi sasaran rencana usaha pemanfaatan hasil hutan kayu oleh PT TWS saat ini.
Kedua, kerusakan hutan secara besar-besaran terjadi di pegunungan Seram Bagian Barat pada saat PT. Kora-Kora Jayanti grup melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu waktu itu.
Ketiga, Kerusakan hutan secara besar-besaran terjadi di pegunungan Seram Bagian Barat pada saat PT Kora-kora Jayanti grup melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada kawasan hutan tersebut dan tidak ada perhatian dari perusahaan untuk melakukan penanaman kembali sehingga kerusakan hutan terjadi sampai saat ini. Beberarapa sungai yang bermuara pada sentra-sentra produksi pangan terkena erosi yaitu tiga sungai besar dan bersejarah yaitu Tala, Ety dan Sapalewa, juga sejumlah sungai yang lain seperti, wai Riuapa,wai Nala wai Kawanenu, wai Kawa, wai Alu, wai Pana dan wai Balu, sehingga ikut berdampak pada irigasi dan berbagai kebutuhan hidup lainnya.
Empat, topografi di pegunungan Seram Bagian Barat tidak memungkinkan bagi usaha pemanfaan hasil hutan kayu dengan menggunakan alat berat loging, karena hampir seluruhnya terdiri dari lereng dan bukit. (**)
Inti penolakan para tokoh adat SBB terhadap PT TWS, lantaran di kawasan tersebut terdapat pohon-pohon dammar yang merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat pegunungan selama beratus-ratus tahun.
Pengalaman pahit PT Kora-Kora Jayanti Grup yang menebang sekitar 17. 5000 pohon damar di kawasan tersebut sejak tahun 1983-1988, menjadi kekhawatiran masyarakat adat setempat apabila PT TWS dapat beroperasi di kawasan yang sama, maka pohon-pohon dammar yang kini dipelihara dan dijaga masyarakat akan ditebang kembali.
Sesuai isi surat yang ditujukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal di Jakarta yang ditandatangani oleh empat orang tokoh adat, atas nama masyarakat adat SBB, masing-masing E. Makaruku, R.Sohaly, J. Ririne dan Matital, menolak dengan tegas PT TWS untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan tersebut.
Pertama, pada kawasan hutan di pegunungan SBB tepatnya di pegunungan kecamatan Taniwel, Taniwel Timur, Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Kairatu Barat, Kecamatan Ina Mosol dan kecamatan Elpaputih terdapat pohon-pohon damar/Agathis yang selama ini dilindungi secara ketat oleh masyarakat adat karena merupakan sumber pendapatan utama bagi mereka khusus masyarakat adat di pegunungan.
Kedua, sejak Tahun 1983- 1988 PT Kora-Kora yang tergabung dalam Jayanti Grup telah melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di Seram Bagian Barat tepatnya di pegunungan wilayah kecamatan Taniwel, Taniwel Timur, Seram Barat, Kairatu Barat, Ina Mos ol dan Elpaputih. Akibatnya sekitar 17.500 pohon dammar/agathis produktif dari negeri Nuruwe, Lohia Tala, Rumberu, Rambatu, Manusa, Kamal, Lumoli, Rumahsoal, Neniari dan Riring berhasil ditebang oleh perusahaan.
Namun demikian pemilik pohon dammar tetap berusaha mempertahankan/mengadakan perlindungan terhadap pohon-pohon damar yang masih ada (luput dari penebangan) melalui perjuangan berat selama 5 tahun 1983-1988).
Masih kata isi surat mereka, akhirnya masyarakat pemilik pohon damar menyurat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang keluhan mereka dan akhirnya ditanggapi secara positif, sehingga saat itu perusahaan PT Kora-Kora menghentikan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan pegunungan Seram Bagian Barat, tepatnya di lokasi yang menjadi sasaran rencana usaha pemanfaatan hasil hutan kayu oleh PT TWS saat ini.
Kedua, kerusakan hutan secara besar-besaran terjadi di pegunungan Seram Bagian Barat pada saat PT. Kora-Kora Jayanti grup melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu waktu itu.
Ketiga, Kerusakan hutan secara besar-besaran terjadi di pegunungan Seram Bagian Barat pada saat PT Kora-kora Jayanti grup melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada kawasan hutan tersebut dan tidak ada perhatian dari perusahaan untuk melakukan penanaman kembali sehingga kerusakan hutan terjadi sampai saat ini. Beberarapa sungai yang bermuara pada sentra-sentra produksi pangan terkena erosi yaitu tiga sungai besar dan bersejarah yaitu Tala, Ety dan Sapalewa, juga sejumlah sungai yang lain seperti, wai Riuapa,wai Nala wai Kawanenu, wai Kawa, wai Alu, wai Pana dan wai Balu, sehingga ikut berdampak pada irigasi dan berbagai kebutuhan hidup lainnya.
Empat, topografi di pegunungan Seram Bagian Barat tidak memungkinkan bagi usaha pemanfaan hasil hutan kayu dengan menggunakan alat berat loging, karena hampir seluruhnya terdiri dari lereng dan bukit. (**)