Press Release
Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport (FPM-TF): GempaR-Papua, AMP, FIM, SONAMAPA, BEM USTJ
"Tutup Freeport dan Penuhi Hak Penentuan Nasib Sendiri"
Setelah melakukan aksi damai pada 20 Maret 2017, Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport (FPM-TF) akan melakukan kembali aksi damai kedua pada Jumat 7 April 2017. Dengan tuntutan utama yaitu "Mendesak Penutupan PT. Freeport dan Mendesak Diberikannya Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis dan Manusiawi oleh Negara kepada Rakyat Papua".
Aksi kedua FPM-TF pada 7 April 2017 mendatang bukan tanpa alasan. 7 April merupakan tanggal dimana pertama kali PT. Freeport melakukan penandatangan Kontrak Karya (KK) untuk masa operasi 30 tahun di Papua. Pada masa itu wilayah Papua berstatus sengketa yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Artinya pada 7 April 1967 itu Indonesia dan Freeport melakukan kesalahan dengan KK di Papua. Proses itu adalah ilegal.
Apa yang kami suarakan dalam aksi-aksi kami merupakan suara rakyat Papua. Sebagai sebuah front taktis kami menyuarakan aspirasi rakyat Papua dalam polemik ini. Penutupan PT. Freeport dan diberikannya hak penentuan nasib sendiri merupakan solusi paling manusiawi dan berkeadilan kepada rakyat Papua yang telah dijarah Sumber Daya Alamnya selama 50 tahun terakhir.
FPM-TF melihat polemik Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Kontrak Karya merupakan sebuah konflik nasional yang tidak menguntungkan rakyat Papua. Sebab rakyat Papua hanya menjadi objek keserakahan negara dan pemilik modal. Sehingga sejak dibentuknya FPM-TF, kami terus komitmen untuk mengawal tuntutan: Tutup PT. Freeport dan Penuhi Hak Penentuan Nasib Sendiri!!
Tujuan aksi damai 7 April 2017 adalah Kantor Gubernur Provinsi Papua Dok. II Jayapura. Tempat itu merupakan basis Pemerintah Daerah Papua yang selama ini giat meminta jatah saham PT. Freeport, bahkan mendesak Presiden Direktur Freeport harus orang Papua. FPM-TF menilai itu sebagai permintaan yang salah kaprah dan tidak menjawab persoalan. Bahkan permintaan-permintaan Gubernur Papua selama ini terkesan hanya untuk kepentingan elit politik di Papua, bukan kepentingan rakyat.
Kami (FPM-TF) menilai, dengan meminta milyaran uang kepada negara dan pemilik modal, pemerintah tidak akan mungkin memantu dan menyelesaikan persoalan-persoalan Papua. Justru banyak permintaan kepada negara akan semakin melegitimasi kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan atas nama itu. Sebab jumlah uang yang besar sudah terbukti telah gagal membangun Papua. Tutup PT. Freeport dan Pemberian penentuan hak nasib sendiri kepada rakyat adalah solusinya.
Oleh karena itu, kami (FPM-TF) menyerukan kepada seluruh mahasiswa Papua di seluruh Indonesia, di seluruh Papua, untuk melakukan aksi serentak melawan imperialisme dan kapitalisme global yang telah menjarah Sumber Daya Alam Papua selama 50 tahun ini. Juga kepada media/ jurnalis untuk memonitoring, meliput aksi serentak di seluruh Indonesia, di seluruh Papua ini dan memberitakannya kepada publik secara berimbang, sehingga pers benar-benar dapat menjalankan fungsinya.
Untuk mahasiswa di kota Jayapura dan kabupaten Jayapura kami menyerukan persatuan bersama duduki kantor Gubernur Papua pada aksi 7 April 2017. Untuk mengawal tuntutan Tutup Freeport & Penentuan Nasib Sendiri yang telah didorong bersama pada 20 Maret 2017 lalu.
Aksi kedua FPM-TF pada 7 April 2017 mendatang bukan tanpa alasan. 7 April merupakan tanggal dimana pertama kali PT. Freeport melakukan penandatangan Kontrak Karya (KK) untuk masa operasi 30 tahun di Papua. Pada masa itu wilayah Papua berstatus sengketa yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Artinya pada 7 April 1967 itu Indonesia dan Freeport melakukan kesalahan dengan KK di Papua. Proses itu adalah ilegal.
Apa yang kami suarakan dalam aksi-aksi kami merupakan suara rakyat Papua. Sebagai sebuah front taktis kami menyuarakan aspirasi rakyat Papua dalam polemik ini. Penutupan PT. Freeport dan diberikannya hak penentuan nasib sendiri merupakan solusi paling manusiawi dan berkeadilan kepada rakyat Papua yang telah dijarah Sumber Daya Alamnya selama 50 tahun terakhir.
FPM-TF melihat polemik Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Kontrak Karya merupakan sebuah konflik nasional yang tidak menguntungkan rakyat Papua. Sebab rakyat Papua hanya menjadi objek keserakahan negara dan pemilik modal. Sehingga sejak dibentuknya FPM-TF, kami terus komitmen untuk mengawal tuntutan: Tutup PT. Freeport dan Penuhi Hak Penentuan Nasib Sendiri!!
Tujuan aksi damai 7 April 2017 adalah Kantor Gubernur Provinsi Papua Dok. II Jayapura. Tempat itu merupakan basis Pemerintah Daerah Papua yang selama ini giat meminta jatah saham PT. Freeport, bahkan mendesak Presiden Direktur Freeport harus orang Papua. FPM-TF menilai itu sebagai permintaan yang salah kaprah dan tidak menjawab persoalan. Bahkan permintaan-permintaan Gubernur Papua selama ini terkesan hanya untuk kepentingan elit politik di Papua, bukan kepentingan rakyat.
Kami (FPM-TF) menilai, dengan meminta milyaran uang kepada negara dan pemilik modal, pemerintah tidak akan mungkin memantu dan menyelesaikan persoalan-persoalan Papua. Justru banyak permintaan kepada negara akan semakin melegitimasi kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan atas nama itu. Sebab jumlah uang yang besar sudah terbukti telah gagal membangun Papua. Tutup PT. Freeport dan Pemberian penentuan hak nasib sendiri kepada rakyat adalah solusinya.
Oleh karena itu, kami (FPM-TF) menyerukan kepada seluruh mahasiswa Papua di seluruh Indonesia, di seluruh Papua, untuk melakukan aksi serentak melawan imperialisme dan kapitalisme global yang telah menjarah Sumber Daya Alam Papua selama 50 tahun ini. Juga kepada media/ jurnalis untuk memonitoring, meliput aksi serentak di seluruh Indonesia, di seluruh Papua ini dan memberitakannya kepada publik secara berimbang, sehingga pers benar-benar dapat menjalankan fungsinya.
Untuk mahasiswa di kota Jayapura dan kabupaten Jayapura kami menyerukan persatuan bersama duduki kantor Gubernur Papua pada aksi 7 April 2017. Untuk mengawal tuntutan Tutup Freeport & Penentuan Nasib Sendiri yang telah didorong bersama pada 20 Maret 2017 lalu.