Hartono Tanuwidjaja,SH MH MSi |
Slogan Indonesia kaya cuma jadi dongeng belaka. Negri khatulistiwa dengan luas wilayah yang besar tidak mampu memberikan makan kepada rakyatnya yang berjumlah lebih dari 258 juta jiwa. Alhasil, imporpun jadi pilihan terbaik untuk mengatasi hal ini. Keputusan untuk mengimpor kebutuhan pokok seakan-akan menjadikan pamerintah seperti seorang makelar.
Mungkin banyak yang bertanya, knapa dari masa ke masa Pemerintah Indonesia suka dengan yang namanya impor, apakah itu karena gengsi, malas atau komisi yang nota bene istilah tersebut diganti dengan untuk memenuhi ketahanan pangan global? Ketika dirunut, kerap muncul pertanyaan, apakah ada hubungannya aspek kependudukan yang cenderung tumbuh pesat dan sisi tuntutan ketahanan pangan global? Pertanyaan ini menunjukan bahwa akumulasi laju pertumbuhan penduduk menuntut adanya ketersediaan pangan secara mudah dan murah. Dalam memahami aspek kependudukan dan juga ketahanan pangan tidak hanya mengacu pada sisi bagaimana melakukan pembenahan sektor manajemen kependudukan.
Tetapi juga bagaimana perannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang tak lain arahnya adalah menjamin ketersediaan pangan.
Di sisi lain, tidak hanya masalah membludaknyajumlah penduduk dan tidak tercukupnya kebutuhan pangan, instabilitas harga pangan yang terjadi setiap tahunnya seolah membuat kementrian yang bertanggung jawab untuk mengamankan stok pangan kelimpungan. Memang, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah kerap melakukan upaya, misalnya operasi pasar dan menetapkan harga bahan pangan.
Akan tetapi hasilnya disadari atau tidak, instabilitas harga bahan pangan kerap masih didapati di tengah masyarakat. Stabilitas harga bahan pangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata lain, pemahaman secara komprehensif tentang pangan sangat dibutuhkan.
Instruksi Presiden Jokowi kepada para menterinya untuk menjungkirbalikkan harga pangan menjelang bulan Puasa dan Lebaran lalu adalah momentum untuk membaca rantai kuasa pangan yang ada saat ini. Walaupun sulit, ada 3 pesan yang tersirat dari tindakan Presiden yaitu ; Pertama, realitas kondisi pengorganisasian petani yang ada pada saai ini. Kedua, memahami seberapa besar kecenderungan kepentingan swasta(pedagang) dan Ketiga, efektifitas kinerja pemerintah (stage holder yang berkaitan dengan permasalahn pangan ini.
Dan ketiga pesan tersirat yang disampaikan oleh Presiden, tampaknya tradisi instabilitas harga pangan yang terjadi setiap tahun disebabkan dominannya relasi kapitalistik. Hal itu dapat terlihat dari kekuatan modal swasta yang mampu mengatasi pangan di negri ini. Issue yang menyaruak adalah, kebijakan importasi pangan yang kerap membingungan, dengan menggunakan kambing hitam bahwa petani kita tidak memiliki kekuatan untuk menyediakan pangan. Benarkan itu?
Belum terjawab permasalahan diatas, terkait dengan lemahnya kebijakan pengorganisasian petani adalah bukti relasi popularisme dimana petani sebagai pilar kekuatan dalam kuasa pangan sama sekali belum pernah digarap dan hanya menjadiisapan dan buaian untuk para petani saja. Alhasil, tampilnya relasi kapitalistik yang dominan telah berhasil membuka ruang bagi para pemburu keuntungan.
Tidak berhenti disana, dampak dari terlalu dominan kapitalistik tersebut dalam rantai kuasa pangan menyebabkan perwujudan kedaulatan pangan jadi bagai mimpi di siang bolong. Ungkapan Bung Karno tentang pangan yang mengatakan bahwa "soal pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa " menjadi seperti pisau yang menyayat akan tetapi lukanya tidak dapat sembuh.
Mari kita simak daftar impor bahan pangan yang dikeluarkan PBS sepanjang bulan Januari s/d Agustus tahun 2016. Beras 225.029 ton (97, 8 juta dollar AS), jagung 2,3 juta (522 juta dollar AS), kedelai 1, 52 juta ton (719,8 juta dollar AS), biji gandum dan meslin 4,5 juta ton (1,3 milliar dollar AS), tepung terigu 61.178 ton (22,3 juta AS), gula pasir 46.298 ton (19,5 juta dollar AS), gula tebu (raw sugar) 1,98 juta ton (789 juta dollar AS), garam 1,04 juta ton (46,6 juta dollar AS), dan daging 302.000 ton (121 juta dollar AS). Artinya, data ini kian mempertegas bahwa tampilnya relasi kapitalistik yang dominan dalam kuasa pangan menjadi ancaman bangsa Indonesia yang katanya negara agraris.
Melakukan Trobosan
Menitikberatkan kekuatan petani dalam mengatasi kuasa pangan menjadi hal yang tidak bisa di pungkiri lagi. Negara wajib menggiring para pihak terkait khususnya petani untuk kembali memajukan lahan pertaniannya.
Oleh karena itu, konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan dan pengembangan manajemen pertanian-pangan secara lebih komprehensif.
Secara eksplisit, konsep ini terkait dengan program kebijakan kependudukan bagi peningkatan kualitas, proses pengendalian pertumbuhan, acuan untuk menyeimbangkan antara aspek kualitas dan kuantitas kependudukan, mobilisasi penduduk secara global, dan jaminan ketersediaan alam bagi peningkatan kesejahteraan. Termasuk juga akumulasi pembangunan pertanian dan pangan untuk memacu hasil produksi pangan secara berkelanjutan
Terkait dengan masalah siatas dan fakta tuntutan persaingan hidup tersebut, maka Indonesia tidak bisa lagi tinggal diam dalam menyikapi ancaman ledakan kependudukan. Terutama dikaitkan dengan makin tipisnya ketersediaan pangan. Mengapa? Faktanya, Indonesia dengan 203 juta jiwa penduduk pada 2000 (pertumbuhan 1,4% per tahun, maka diprediksi pada 2050 mencapai sekitar 400 juta jiwa) adalah negara dengan tingkat kepadatan penduduk keempat setelah China (1.265 juta jiwa), India (1.002 juta jiwa), dan AS (276 juta jiwa). Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman serius jika tidak ada program manajemen kependudukan yang sestematis- berkelanjutan dan supply pangan yang tak tercukupi.
Yang ironis, ternyata konsekuansi kepadatan penduduk tak diimbangi dengan kemampuan daya beli rakyat karena terjadi prises ketimpangan. Tidak saja ketimpangan antara negara miskin dan berkembang dengan negara industri maju, tetapi juga akumulasi ketimpangan di internal negara kita sendiri. Inilah yang kemudian memicu terjadinya proses kemiskinan dan ketimpangan pangan. Dan yang lebih mengerikan lagi, kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan pemenuhan kebutuhan pangan, akan tetapi tidak jelas darimana acuan terkait dengan data tentang kuota kebutuhan pangan dimaksud.
Jadi, ada keterkaitan yang erat antara kesalahan dan atau pengabaian dalam manajemen kependudukan dengan terjadinya ketimpangan atau akumulasi kemiskinan di sejumlah negara, termasuk rawan pangan. Selain itu, fakta ini masih ditambah dengan kasus mobilisasi penduduk, tidak saja mobilisasi regional (nasional), tetapi juga mobilisasi internasional (maraknya ekspatriat.
Sudah waktunya kita tidak terus bermimpi dan terus membangun slogan untuk berswasembada pangan, tetapi terlebih dahulu melakukan penataan relasi kuasa pangan di negeri agraris ini, untuk mengembalikan kejayaan negeri agraris ini.*** Hartono Tanuwidajaja, SH, MH, MSi.
***) Penulis adalah seorang praktisi hukum yang dikenal luas oleh kalangan media, dan penulis juga merupakan advokat & lawyer yang saat ini menjabat sebagai Ketua Persatuan Advokat Indonesia( PERADI) Jakarta Barat.