Sri Sulastri menunjukkan film Hitam Putih Kelabu yang mendapat penghargaan. |
Pasuruan – Setahun silam, perasaan Sri Sulastri sangat bahagia. Sebab, film yang berjudul Hitam Putih Kelabu karya Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kota Pasuruan itu mendapat penghargaan Mumbai Shorts International Films Festival 16 di Mumbai, India.
Meskipun berhalangan hadir di Mumbai, wanita yang akrab disapa Sri ini mengaku sangat bahagia. Sebab, film garapan tahun 2015 itu mendapat apresiasi di level internasional.
"Saya senang sekali saat mendapat kabar film Hitam Putih Kelabu masuk dalam film yang mendapat penghargaan di Mumbai. Bersyukur film saya mendapat hati di luar negeri," kata Sri, Minggu (29/1/2017).
Film ini berkisah kehidupan narapidana di penjara. Film ini dibuat saat dia menjabat sebagai Kepala Rutan Kelas II A Jakarta Timur atau yang dikenal sebagai Rutan Pondok Bambu.
"Cerita film ini diangkat dari kisah nyata. Pemainnya pun didominasi para napi di Rutan Pondok Bambu. Film ini memotret kehidupan di rutan," terangnya.
Sri menjelaskan film ini bermakna sangat dalam. Film ini mengangkat kisah persahabatan dua napi perempuan yang ditahan di Rutan Pondok Bambu akibat narkoba. Dua napi itu adalah Mellisa dan Lyn.
"Hanya Mellisa yang mau berteman dengan Lyn. Semua napi perempuan di rutan tidak ada yang berteman dengan Lyn karena dia mengidap Aids," jelasnya.
Singkat cerita, kondisi Lyn semakin hari semakin memburuk. Namun, Mellisa setia menemani Lyn dalam kondisi apapun.
Hingga suatu hari, kondisi Lyn sangat drop. Daya tahan tubuhnya runtuh. Hampir semua penyakit menyerang tubuhnya. Bahkan, Lyn harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani perawatan medis.
"Setelah sekian lama bertahan, Lyn meninggal dunia. Sebelum meninggal, Lyn menitipkan sebuah surat untuk Mellisa," paparnya.
Dalam surat itu, Lyn minta Mellisa merawat anak semata wayang Lyn. Lyn menitipkan anaknya ke Mellisa.
"Mellisa merasa kehilangan sahabat sejatinya. Banyak kenangan yang sudah dilalui bersama Lyn di penjara. Mellisa belajar arti kehidupan sesungguhnya dari kehidupan Lyn. Tidak lama kemudian, Mellisa keluar dari rutan," ungkapnya.
Mellisa berjanji tobat dan berhenti konsumsi narkoba pasca bebas tanpa syarat dari Rutan Pondok Bambu. Kepada Sri, Mellisa mengaku takut konsumsi narkoba karena khawatir kena Aids seperti Lyn.
"Bagi yang memahami film ini, bisa meneteskan air mata. Pelajarannya, jangan konsumsi narkoba karena berbahaya dan menyebabkan penggunanya kena HIV/Aids. Sejauh ini, virus itu belum ditemukan obatnya," tandasnya.
Dia menceritakan film ini digarap selama lima hari. Lokasi syutingnya di sel Rutan Pondok Bambu. Dia sengaja mensterilkan sebuah sel untuk syuting film pendek ini. Pihaknya rela syuting sampai dini hari untuk meminimalisir gangguan, dan tidak mengganggu napi lain.
"Tapi sampai proses editing dan bahan jadi itu butuh waktu sampai dua bulan lebih," imbuhnya.
Sri menambahkan ide ini muncul saat dia sering duduk bersama para napi. Dia mencoba mencari cerita menarik dari setiap pengalaman napi. Alhasil, dia menemukan kisah ini, dan ingin membuat cerita itu jadi film.
Dia diskusi dengan beberapa staffnya, dan akhirnya ada satu staffnya yang memiliki saudara dan hobi membuat film. Ibarat gayung bersambut, keinginannya untuk membuat film langsung terwujud.
"Saya juga ingin buat film di Lapas Kelas II A Kota Pasuruan. Tapi saya belum menemukan cerita menarik. Kalalu sudah ketemu cerita menariknya, saya akan saya filmnya," kata perempuan asal Jakarta ini tertawa. (Galih Lintartika/Zainuddin)
Sumber : suryamalang.com