Filosofi Hukum Ini Yang Bisa Membuat Dakwaan Jaksa Tak Bisa Diterima

Jakarta, infobreakingnews - Pengamat hukum pidana, Albert Aries menyatakan penerapan Pasal 156a KUHP mengenai delik penodaan agama harus diawali dengan peringatan keras dari instansi terkait, sebagaimana mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).
Menurut Albert, aturan tersebut masih berlaku sebagai hukum positif di Indonesia yang khusus dan paling lengkap mengatur tentang penodaan agama dan delik penodaan agama.
"Pasal 156a KUHP merupakan pasal sisipan (BIS) dari KUHP peninggalan Belanda yang diamanatkan oleh Pasal 4 UU PNPS. Nah, untuk menggunakan Pasal 156a KUHP ini harus mengikuti mekanisme dalam UU Penodaan Agama, yakni sebelum kasus penodaan agama diproses secara hukum, maka yang bersangkutan diberi peringatan keras terlebih dahulu," ujar Albert di Jakarta, Jumat (16/12).
Albert menjelaskan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sudah ditetapkan menjadi undang-undang Undang Undang melalui UU 5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Sementara itu, Pasal 156a KUHP yang diamanatkan oleh Pasal 4 UU Penodaan Agama memiliki tiga unsur utama, yaitu permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama.
Pelanggaran atas Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama juga dikenai sanksi pidana lima tahun penjara yang disebutkan di dalam Pasal 3 UU tersebut. 
Dia juga mengungkapkan bahwa UU Penodaan Agama sudah dua kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, yakni pada 2009 dan 2012. Tetapi, kedua permohonan uji materi tersebut ditolak MK seluruhnya. Artinya UU tersebut masih dianggap MK konsitusional terhadap UUD 1945 dan belum pernah dicabut atau dibatalkan.
"Yang menarik, ada pertimbangan hukum dari MK bahwa untuk menerapkan Pasal 156a KUHP, harus melalui mekanisme UU PNPS Nomor 1/1965 terlebih dahulu," katanya.
Lebih lanjut, Albert mengatakan dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) atas dugaan penistaan agama oleh Ahok, ada salah satu paragraf yang menyebutkan bahwa soal penafsiran dan penerapan Surat Al Maidah Ayat 51 adalah domain dari umat Islam dan pemeluknya. Artinya, JPU patut diduga kuat memiliki perspektif dalam dakwaannya bahwa apa yang dinyatakan oleh Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu 27 September 2016 lalu adalah tindakan penafsiran.
Jadi, menurut Albert, sesuai ketentuan UU PNPS Nomor 1/1965, Ahok seharusnya diberikan peringatan keras terlebih dahulu. Kalau Ahok melanggar aturan itu lagi, baru terkena sanksi pidana.
"Kalau lihat dari UU PNPS Nomor 1/1965 yang akan kasih peringatan adalah gabungan dari mendagri, menteri agama, dan jaksa agung, tetapi dalam beberapa preseden kasus penodaan agama yang ada, tampaknya MUI sudah mengambil peran tersebut," ujarnya.
Menariknya, kata Albert, Ahok sudah meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi, sehari sebelum MUI mengeluarkan pernyataan sikap dan pendapat keagamaan atas pengutipan surat Al Maidah Ayat 51. Menurutnya, hal itu dapat diasumsikan bahwa Ahok juga sudah tidak mau mengucapkan hal-hal serupa yang terkait dengan ayat-ayat suci agama Islam.
"Konsekuensinya dakwaan JPU atas kasus Ahok bukan batal demi hukum, tetapi dakwaan tidak dapat diterima atau de officier van justitie is niet onvankelijk, karena belum pernah ada peringatan keras sebelumnya yang diberikan kepada Ahok. Dengan kata lain, dakwaannya prematur untuk diajukan. Kalau seandainya sikap dan pendapat keagamaan MUI dianggap sebagai representasi dari sebuah peringatan keras, maka Ahok pun juga sudah tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilarang dalam UU PNPS Nomor 1/1965," terang Albert.*** Candra Wibawanti.

Subscribe to receive free email updates: