Ketua Komisi A DPRD Indramayu Bhisma Panji Dhewanthara mengakui penegakan hukum kasus trafficking di daerahnya tidak optimal. Ia menuding terdapat mafia yang mempersulit penegakannya selama ini. "Selain faktor ekonomi warga juga dipengaruhi kondisi sosial para korban," katanya, Kamis (20/10/2016).
Menurut pengamatannya, pelaku kerap mengiming-imingi para korban dengan sejumlah uang agar tertarik disalurkan bekerja oleh pelaku. Ia memastikan para korban berasal dari golongan ekonomi lemah sehingga mendesak mereka untuk segera bekerja tanpa mengeluarkan uang, waktu dan tenaga mengurus perizinan ketenagakerjaan semestinya.
"Tak jarang ada anak yang justru didorong orang tuanya sendiri untuk ikut disalurkan oleh pelaku. Mereka tidak tahu kalau penyalur tersebut ilegal," kata Bhisma. Ia menganggap ketidaktahuan masyarakat sebagai akibat dari kurangnya sosialisasi pemerintah daerah setempat.
Bhisma menganggap permasalahan tersebut terus terulang tanpa ada penyelesaiannya. "Makanya saya pikir pihak-pihak terkait perlu berkumpul mendiskusikan dimana letak permasalahannya," katanya menegaskan. Lebih lanjut, diskusi tersebut menurutnya akan mengarah pada wacana perlu tidaknya revisi Perda terkait.
Selain tidak optimal penegakannya, Bhisma juga menduga Perda tersebut tidak lagi sejalan dengan undang-undang perdagangan manusia yang telah direvisi pada 2007 lalu. "Perda trafficking ini kan disahkan pada 2005 sementara undang-undangnya saja direvisi pada 2007, bisa jadi sudah tidak sesuai," katanya menjelaskan.
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indramayu mengaku tidak memiliki wewenang untuk menindak para pelaku trafficking (trafficker). "Dinas Sosial fungsinya hanya untuk rehabilitasi para korban dari hasil penangkapan petugas. Begitu seharusnya," kata Kepala Bidang Sosial Zulkarnaen. Ia menganggap penanganannya tersebut menjadi tugas lembaga penegak hukum.
Penindakan pelaku perdagangan manusia oleh petugas penegak hukum dianggap belum ada hasilnya oleh Serikat Buruh Migran Indonesia. Ketua SBMI Kabupaten Indramayu Juwarih mengaku mendapat 38 laporan kasus trafficking dari korban sepanjang 2016. Sebanyak 10 kasus di antaranya sudah dilaporkan ke Polres Indramayu.
"Tapi sampai sekarang belum ada (kasus yang sampai ke pengadilan). Kasusnya selalu mandeg di Polres," kata Juwarih. Ia menyimpulkan, penanganan kasus perdagangan manusia di daerahnya mandul. Bahkan ia merasa Peraturan Daerah No 14 tahun 2005 Tentang Trafficking tidak efektif mengurangi angka kasus terkait.
Menanggapi hal itu, Kepala Polres Indramayu Eko Sulistyo Basuki mengaku belum mendapatkan laporan lengkap terkait kasus trafficking di Indramayu. "Belum ada laporan yang signifikan dari korban sehingga kami juga tidak memiliki data yang signifikan tetang korban trafficking," katanya. Hal itu diperkuat pengakuan Kepala Satuan Reserse Kriminal Riki Arinanda yang mengaku belum mendapatkan laporan terkait.(PR/WD).