Seorang teman pernah menegur saya untuk tidak selalu membela Ahok.
Saya senyum sendiri baca pesannya, dan saya jawab, "Jadi kalau ada sesuatu yang aneh dan gak masuk akal dari serangan yang diarahkan ke Ahok, saya harus diam saja, begitu ya?".
Sebenarnya "membela" bukan kata yang tepat, karena untuk apa saya membela Ahok wong saya bukan apa2nya. Saya hanya menempatkan sisi saya, bagaimana jika saya sedang berada di sisi Ahok menghadapi serangan2 itu. Anggaplah melatih nalar berfikir yang sehat.
Dan memang kenyataannya serangan kepada Ahok ini menghina nalar berfikir, malah bisa dibilang tanpa nalar.
Seperti ada yang memaksa KPK supaya Ahok harus jadi tersangka di kasus sumber waras. Lha wong KPK aja susah nyari bukti bahwa Ahok korupsi. Sampai KPK harus mencari 'niat jahat" Ahok, tapi ya gak dapat2. Trus apanya yang harus dijadikan tersangka? Bukankah memaksa sebuah lembaga untuk men-tersangkakan orang yang tidak punya bukti bersalah, itu bukti serangan yang tidak bernalar?
Ada lagi pernyataan Adhie Massardi supaya KPU dan Banwaslu memeriksa kerjasama Ahok dan Google hanya karena nama ""foke" kalau digoogling berganti nama "ahok". Bukankah mengaminkan itu malah menjadikan saya tidak bernalar?
Ketika saya menolak untuk tidak bernalar, lalu saya distempel selalu "membela" Ahok. Oh come on, saya ini orang berakal, bukan orang buta.
Banyak lagi kasus serangan kepada Ahok yang ketika saya teliti sama sekali jauh dari akal sehat.
Sebagai contoh, Ahok dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina surat Al maidah 51 yang berbunyi, "Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinmu". Ahok berkata, jangan pilih saya jika meyakini surat Al Maidah 51.
Lalu salahnya Ahok dimana kok sampai harus di polisikan karena dianggap rasis dan mencatut kitab suci? Ahok kan benar, kalau gak mau milih dia karena berdasarkan surat itu, ya gak usah pilih dia. Dimana sisi rasisnya? Dia malah mengajak kepada orang yang mengaku sebagai "orang beriman" untuk tidak memilihnya.
Lagian orang yang memilih Ahok, itu karena dia memilih "administratur wilayah", bukannya pemimpin umat. Ahok tidak mengatur cara beragama seseorang, dia hanya mengatur administrasi di wilayahnya supaya tertib dan teratur.
Ketika saya menjelaskan itu, apakah berarti saya membela? Demi Tante sonya, semoga Johan segera mendapat hidayah!
Sebenarnya ketika kita berbicara politik, bukan berarti kita sok tahu terhadap situasi politik, tetapi melatih nalar berfikir melalui tema politik. Supaya nalar kita sehat, jangan cuti terlalu lama.
Lalu kenapa abang tidak membela Anies ?
"Untuk apa? Toh, Anies tidak ada yang menyerangnya. Dia sempurna. Seorang muslim ditengah negara yang mayoritas muslim. Santun, terdidik baik, mantan menteri, bijaksana karena sering mengeluarkan nasihat2 dan wajahnya ganteng. Lalu, apanya yang harus dibela ketika seseorang begitu sempurna?".
Oke deh, bela mas Agus aja sekali-kali.
"Maaf, saya gak bisa melawan garis tangan mas agus yang katanya sudah men-takdirkannya menjadi pemimpin. Dengan garis tangan takdir Tuhan itu, mas agus gak perlu ngapa2in, gak perlu kampanye, gak perlu program, cukup duduk sama penjual bakwan, di foto wartawan, cekrek.. abrakadabra, sudah menjadi pemimpin.. Melawan takdir garis tangan sama dengan melawan Tuhan. Ingat itu!".
Rasanya perlu secangkir kopi lagi siang ini, biar nalarku bekerja kembali… Tuhan, betapa susahnya ternyata menjadi manusia..
dennysiregar.com