CADAS! Eks Relawan Jokowi: Ahok Ditempatkan di Atas Negara


[portalpiyungan.com] Eks relawan Jokowi, Ferdinand Hutahaean, mempertanyakan status siaga 1 yang dikeluarkan Polri baru-baru ini. Pasalnya, Nota dinas atas nama Brimob yang ditandatangan oleh Wakil Komandan Korps Brimob maupun telegram Kapolri yang ditandatangan oleh Asisten Operasi untuk mobilisasi pasukan Brimob, semuanya dibantah baik lisan maupun tulisan.

"Apakah benar saat ini Indonesia Siaga 1? Publik tidak tahu pasti karena semua informasi yang didapat ditengah publik selalu terjadi bantah lisan maupun bantah tulisan," ujar Ferdinand di Jakarta, Senin 31 Oktober 2016..

Di balik bantah-berbantah laksana berbalas pantun tentang kebenaran nota dinas dan telegram tersebut, lanjutnya, menyeruak pertanyaan yang membuat 'kepala gatal'.

"Sudah separah itukah bangsa ini hingga ada yang nekad memalsukan nota dinas dan telegram polri serta memalsukan tanda tangan pejabat kepolisian? Hanya dimasa rezim ini hal itu bisa terjadi andai nota dan telegram itu memang adalah palsu," cetus dia.

Ferdinand mengungkapkan, degradasi kehormatan lembaga negara sepertinya sudah jatuh ke titik paling nadir di era rezim ini. Misal, kata dia, Presiden menandatangani dokumen negara yang tidak dibaca dan sekarang beredar dokumen atas nama lembaga penegak hukum Polri.

"Inilah potret pemerintah kita yang sesungguhnya, Pemerintahan yang tidak mencerminkan sebuah negara besar, dan lembaga-lembaga negara jatuh kehormatannya ke titik paling nadir," sebutnya.

Lebih lanjut, Ferdinand mengatakan, penegakan hukum terhadap Ahok yang dilaporkan oleh beberapa pihak dan ormas hingga kini macet dan sedang diutak atik supaya bisa menenuhi keinginan sang 'tangan-tangan kekuasaan' yang mengabdikan diri kepada kepentingan.

Menurutnya, Proses penegakan hukum terhadap Ahok yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat telah membawa bangsa kepada kondisi yang tidak baik. Indonesia Siaga 1 hanya karena penegakan hukum terhadap satu Ahok yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan melecehkan gerakan sosial dan gerakan sipil.

"Ahok ditempatkan di atas negara. Ahok ditempatkan lebih penting dari negara. Hampir semua lembaga dibawah rezim berkuasa bekerja untuk melindungi Ahok sang terlapor penistaan agama sebagaimana yang diatur KUHP Pasal 156," ungkap dia.

"Dan upaya perlindungan kepada Ahok harus dibayar mahal dengan pengerahan pasukan besar-besaran untuk menghadapi aksi massa umat Muslim yang direncakan pada tanggal 4 November 2016 mendatang," tambahnya.

Direktur Energy Watch Indonesia (EWI) ini menambahkan, negara akan mengeluarkan biaya ratusan milyar dan ribuan mungkin puluhan ribu pasukan untuk berhadapan dengan aksi massa yang menuntut penegakan hukum secara berkeadilan dan menghargai rasa keadilan sosial masyarakat.

"Sebuah pilihan yang terlalu sadis memilih mempertaruhkan nasib bangsa demi perlindungan sempurna kepada Ahok dari penegakan hukum," pungkasnya.

Ferdinand menilai, sekarang ini Pemerintah atas nama kekuasaan memilih untuk menghadapkan ekspektasi penegakan hukum publik kedepan kekuatan aparat. Pemerintah lebih memilih melawan tuntutan penegakan hukum hanya untuk melindungi satu orang bernama Ahok.

"Pemerintah memilih mempertaruhkan kondusifitas dan keamanan serta kestabilan bangsa demi melindungi sang terlapor peninstaan agama bernama Ahok," tegas Ferdinand.

Yang jadi pertanyaan besar, sambungnya, mengapa rezim ini tidak memilih menegakkan hukum supaya bangsa kembali tentram dan hubungan harmonis. Sehingga bentuk toleransi keragaman bangsa yang berbhineka menjadi nyata.

"Ada apa dengan presiden yang sangat terkesan vulgar membela Ahok sang musuh toleransi?" tutupnya.

Sumber: Aktual

Subscribe to receive free email updates: