Ketua Mahkamah Agung ke-XIV Dr. Syarifuddin, SH, MH bersama CEO Media Info Breaking News Grup, Emil F. Simatupang |
Jakarta, Info Breaking News – Amarah, tangis dan pilu memenuhi hati keluarga almarhum Satriyo Prayitno, SH, MH seorang Panitera Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Utara yang jabatannya dicopot secara tak bertanggung jawab oleh Ketua PT Sulut H. Arif Supratman, SH, MH.
Seperti diberitakan sebelumnya, Arif diketahui seenak udel mencopot jabatan Satriyo meskipun hal itu bukan merupakan kewenangannya. Tanpa ada rasa bersalah Arif merasa perbuatannya itu benar. Ia disebut tidak pernah buka PP 53 tahun 2010 jadi dia merasa membenarkan tindakannya.
Bukannya menjadi role model atau teladan yang baik di lingkungan tempatnya bertugas, Arif justru menunjukkan arogansinya di hadapan banyak mata. Dengan mencopot Satriyo dari posisinya sebagai Panitera, maka sudah jelas Arif telah melanggar peraturan yang berlaku.
Sangat disayangkan mengingat kini Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara tengah mengejar status sebagai instasi yang berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Namun, dengan kejadian ini dipastikan PT Sulut tak akan lolos. Perkara ini bahkan sudah sampai di telinga Kemenpan RB sehingga jangan diharap Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara bisa lolos dari Predikat WBK selama masih dipimpin oleh ketua yang bermasalah dan arogan.
Selama bertugas di PT Sulut, almarhum Satriyo juga kerap menerima perlakuan keji dari Arif. Hinaan dan caci maki jadi makanan sehari-hari Satriyo di bawah kepemimpinan Arif. Istri almarhum bahkan mengaku suami dibodoh-bodohkan tiap rapat.
Ketika dirinya sakit pun, tak ada rasa iba terpancar dari hati Arif. Izin berobat ke RS Dokter Sutomo Surabaya pun ditolak mentah-mentah dengan alasan RS tujuannya adalah RS untuk Covid-19. Bagaimana hati tak miris mendengar, padahal kala itu kondisi kesehatannya tengah memburuk karena kreatinya sudah di angka 6 dan sangat butuh pemeriksaan mendalam di RS pemerintah dengan fasilitas lengkap.
Profil Ketua PT Sulawesi Utara yang secara semena-mena mencopot jabatan Satriyo |
Alih-alih mendapat surat izin berobat, justru surat pencopotan jabatan yang diterimanya. Akibatnya Satriyo makin drop dan stress. Fasilitas mobil dinasnya pun ditarik. Tidak berhenti dengan hinaannya, Ketua PT Sulut bahkan menuduh Satriyo kena Covid-19 dan perlu dikarantina padahal yang bersangkutan Cuma menjalani operasi mata katarak.
"Saat itu hanya pasrah dan sabar saja yang dia lakukan. Tetap ngantor seperti biasa meski dengan tekanan mental yang berat karena harus menghadapi seseorang berjiwa setan dan tidak ada rasa kemanusiaan. Memang (Arif – red) tidak pantas jadi pejabat yang bias mengayomi anak buahnya. Hanya orang dengan hati setan bisa menolak izin berobat ke RS Surabaya," tutur anak korban saat dihubungi, Senin (13/7/2020).
Tidak dapat kesempatan berobat ke RS Sutomo, Satriyo pun beralih ke RS Kandau Manado dan menghembuskan nafas terakhirnya di sana. 3 hari setelah dirinya meninggal dunia pun tidak ada itikad baik Arif mengucapkan bela sungkawa tapi dirinya justru berkaraoke ria di Kota Mobago seakan-akan dirinya puas melihat kematian Satriyo. Ia bahkan tidak melakukan upaya apapun untuk bisa memulangkan jenazah ke kota asalnya, Kota Malang.
"Hasil PCR dan Rapid Test negatif. Kalau saat itu Ketua PT bertindak, jenazah mungkin masih bisa dibongkar dibawa pulang ke keluarganya di Malang," ungkap sang anak.
Keluarga yang ditinggalkan geram akan hal ini. Mereka menilai menolak izin berobat adalah pelanggaran HAM dan sama saja membunuh Satriyo secara perlahan.
Keluarga pun tak menerima sosok yang mereka kasihi dijatuhkan dan dibunuh karakternya oleh kata-kata hinaan. Padahal sehari-harinya ia terbukti merupakan seorang pekerja keras dan hasilnya tersimpan rapi dalam sebuah tas.
Mendiang Satriyo sehabis menjalani operasi katarak tetapi dirinya dituduh mengidap Covid-19 oleh KPT Sulut |
Di dalam tas tersebut tersimpan bukti hasil pekerjaan Satriyo sehingga hinaan yang mengatakan dirinya tak bias bekerja adalah bohong besar. Rekaman video saat Satriyo dimaki-maki juga ada dan bakal dijadikan bukti bahwa pencopotan jabatan yang dilakukan tidak obyektif melainkan memiliki unsur sentimen pribadi.
Sungguh mengherankan bagaimana hakim sebagai aparat penegak hukum justru malah melanggar bahkan sampai 'membunuh' bawahannya. Sangat disayangkan hakim arogan dan menebar rasa takut seperti ini masih dipercayakan memimpin suatu Lembaga Peradilan yang notabene seharusnya memberikan rasa aman tidak hanya bagi masyarakat namun staf yang bertugas di dalamnya.
Keluarga berharap Arif segera diturunkan dari jabatannya sebagai KPT Sulut sebelum muncul korban-korban baru seperti Satriyo.
"Beliau membunuh suami saya dan saya juga memohon pada Allah agar nyawa ganti nyawa," tutur sang istri.
"Kematian memang sudah rencana Tuhan, tapi kejahatan harus saya balas karena ada korban. Saya tidak dendam tapi saya tidak mau ada korban lagi. Ada hakim yang sangat ketakutan di PT Manado, karena biasanya suami dan hakim tersebut yang sering jadi 'bola' Ketua PT," pungkasnya. ***Emil F. Simatupang