Dr. Jeferson Kameo, SH, LLM |
Menurut Evi, setidaknya ada tiga kecacatan hukum dari keputusan DKPP tersebut. Pertama, DKPP tetap melanjutkan persidangan dan mengambil keputusan atas aduan dugaan pelanggaran kode etik, padahal pengadu sudah mencabut aduannya. Kedua, DKPP mengambil keputusan pemberhentian secara tetap tanpa mendengar pembelaan dari Evi selaku teradu. Dan ketiga, dalam memutuskan, DKPP tidak melaksanakan pasal 36 ayat 2 peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2019 yang mewajibkan rapat pleno pengambilan putusan dihadiri oleh 5 orang anggota, kenyataannya pleno hanya dihadiri oleh 4 orang anggota DKPP. Senin (13/07/2020), Gugatan tersebut memasuki agenda Keterangan Ahli dari Tergugat. Adalah Dr. Jeferson Kameo, SH., LL.M., akademisi dan pakar hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang memberikan keterangan ahli pada kesempatan ini. Dalam keterangan tertulisnya, Jeferson mengatakan Keppres itu seyogyanya adalah Keppres yang melebur dan Keppres leburan tersebut masuk bergabung menjadi satu ke dan di dalam Putusan No. 317-PKE-DKPP/X/2019 sebagai suatu Putusan Badan Peradilan Etik Penyelenggara Pemilu. "Maka habis lah perkara (case closed). Penggugat selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum sebagai bukan Obyek Sengketa di PTUN. PTUN tidak memiliki kompetensi absolut untuk mengadili sengketa dengan Nomor Perkara 82/G/2020/PTUN-JKT pada PTUN," ujar Jeferson. Lebih lanjut Jeferson menjelaskan bahwa keberadaan DKPP-RI adalah untuk menyelenggarakan peradilan etik bagi Penyelenggara Pemilu yang karena merupakan pemegang kekuasaan kehakiman pula, keberadaannya guna menegakan tidak hanya hukum (legalitas) tetapi juga keadilan (justice). "DKPP sebagai badan peradilan etik bagi Penyelenggara Pemilu adalah perkembangan badan peradilan yang tidak termasuk dalam kategori keempat badan peradilan yang berada di bawah MA dan juga bukan badan peradilan di bawah MK," terangnya. Menurut Jeferson, upaya gugatan yang dilakukan Penggugat yang disertai dengan pembentukan opini dalam sengketa ini termasuk dalam upaya pengkerdilan DKPP sebagai anak dari rahim reformasi. Ia mempertanyakan apakah upaya pengkerdilan ini dilakukan karena memang ada ketakutan terhadap kebenaran yang terkuak atas kehadiran DKPP sebagai badan peradilan etik bagi penyelenggara pemilu. "Jika dianalogikan sebagai seorang anak yang baru hadir dalam keluarga, maka "anak" ini (DKPP-RI) yang merupakan produk reformasi sudah menjadi harapan bagi keluarganya, sebab dia akan menyelamatkan keluarganya dari legalism bondage. Namun demikian DKPP-RI yang baru berusia belia itu seolah-olah sudah diincar, bahkan sudah ada rencana yang cukup lama untuk dikerdilkan, atau jagnan-jangan, karena mengganggu, mau dibubarkan?," ungkap dosen di Fakultas Hukum UKSW ini. Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 itu DKPP memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia, selaku eksekutor dari sanksi (condemnation) yang dijatuhkan oleh DKPP yang final dan mengikat pada saat itu juga, untuk melaksanakan Putusan condemnatoir di atas, dan juga saat itu pula, karena final dan mengikat saat itu juga melahirkan hak dan kewajiban baru (constitutive). "Putusan DKPP-RI No. 317-PKE-DKPP/X/2019 itu final dan mengikat, absolut, bersifat declatoir, condemnatoir sekaligus constitutive, kebenarannya tidak boleh dibantah, apalagi di-downgraded. Presiden RI sebagai Kepala Negara sudah mempunyai sense of crisis, karena Putusan DKPP-RI di atas adalah final dan mengikat tidak dapat menunda atau bahkan memiliki niat untuk tidak mematuhinya," pungkas Jeferson. ***Vincent Suriadinata
|