Kepala PSHE, Dr. Dyah Hapsari Prananingrum, SH, M.Hum |
Jakarta, Info Breaking News - Presiden Jokowi menetapkan virus corona (Covid-19) sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden pada 13 April 2020.
"Menyatakan bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional," kata Jokowi dalam Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional.
Pasca terbitnya Keppres Nomor 12 Tahun 2020, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD melalui akun Twitternya menilai penetapan corona sebagai bencana nasional tidak bisa dijadikan sebagai alasan force majeure atau keadaan memaksa untuk membatalkan kontrak. Namun, ia menyebut bahwa hal tersebut bisa membuka kesempatan melakukan negosiasi ulang kontrak.
"Keppres No. 12/2020 ttg Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sbg Bencana Nasional tdk dpt dijadikan dasar sebagai "force majeur" untuk membatalkan kontrak. Kontrak-kontrak tetap terikat pada ketentuan Ps 1338 KUH Perdata yang relaksasinya bisa diatur OJK. Elaborasinya nanti saya videokan," cuit Mahfud MD pada 14 April 2020.
Kepala Pusat Studi Hukum Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (PSHE UKSW), Dr. Dyah Hapsari Prananingrum, SH., M.Hum., mengatakan bahwa status bencana nasional tidak serta merta diterjemahkan sebagai force majeure dan membatalkan kontrak.
"Force majeure absolute dimana terjadi keadaan yang sama sekali tidak mungkin (impossibility) bahwa kontrak dapat dilaksanakan. (Misnaming barang). Naming dalam perkembangan di kenal juga sebagai force majeure relative, dalam hal keadaan tersebut yang menyulitkan debitur melaksanakan kontrak," jelasnya.
Lebih lanjut Dyah menjelaskan, jika ada yang melarang/membatasi perjalanan yang mencegah satu pihak untuk melakukan kewajibannya berdasarkan kontrak, dan debitur tersebut bertindak dengan itikad baik, maka debitur tersebut dapat mengklaim dengan alasan force majeure.
"Keadaan kahar yang biasanya dimuat dalam kontrak, juga sangat penting menentukan force majeure yang membatalkan kontrak atau tidak. Kalau termuat maka force majeure akan menjadi dasar batalnya kontrak," terang Kepala PSHE ini.
Dosen di Fakultas Hukum UKSW ini menegaskan bahwa yang perlu dicermati bukan hanya peristiwanya namun juga perlu dilihat pretasinya. "Bila sifatnya sementara maka bisa di tunda kewajiban debitur dengan dasar renegosiasi kontrak," pungkasnya. ***Vincent Suriadinata