Pakar Hukum Tata Negara UKSW, Dr. Umbu Rauta, SH. M.Hum. |
Jakarta, Info Breaking News - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan uji materi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin (30/9/2019). Permohonan uji materi ini diajukan oleh 18 mahasiswa. Kuasa Pemohon, Mahasiswa FHUI, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menjelaskan akan kembali mengajukan penambahan pemohon. Dia menyebut sudah ada 100 orang lebih yang bersedian menjadi pemohon terkait permohonan uji materi UU KPK ini.
Dalam permohonan ini, pemohon menilai pembentukan UU KPK baru tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945. "Menyatakan pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945," dikutip dari permohonan para pemohon.
Salah satu argumennya, berdasarkan hitungan manual, rapat paripurna DPR hanya dihadiri 80 anggota DPR. Meski pimpinan sidang DPR, Fahri Hamzah menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin, dari 560 anggota DPR.
"Pembentukan UU a quo sebagai proses pembentukan UU yang baik tidak dipenuhi sehingga timbul kerugian yang sebenarnya dapat dicegah jika asas-asas pembentukan UU yang baik dipenuhi," ujar pemohon.
Dalam sidang ini, hakim MK mempertanyakan soal kerugian konstitusional yang dialami para pemohon yang mengajukan uji materi terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tapi yang pokok, apa kerugian dari pemohon? Hak konstitusional apa yang dirugikan akibat berlakunya norma dari ketentuan yang sudah mengikat itu? Itu harus diuraikan," ujar hakim MK Enny Nurbaningsih dalam sidang perdana pengajuan uji materi tersebut.
Hakim Konstitusi lainnya, Wahiduddin Adams, menyinggung soal inkonsistensi penyebutan UU yang diuji dalam materi permohonan. Menurutnya, dalam beberapa bagian itu disebut sebagai UU KPK, sebagian lain itu disebut UU Nomor 30 Tahun 2002.
Hakim Konstitusi lainnya, Wahiduddin Adams, menyinggung soal inkonsistensi penyebutan UU yang diuji dalam materi permohonan. Menurutnya, dalam beberapa bagian itu disebut sebagai UU KPK, sebagian lain itu disebut UU Nomor 30 Tahun 2002.
Menanggapi uji materi yang diajukan ke MK, Pakar Hukum Tata Negara FH Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum., mengungkapkan bahwa secara normatif, baik berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi No 6/2005, obyek pengujian ke MK yaitu Undang-Undang, bukan Rancangan Undang-undang. "Pasca perubahan UUD NRI 1945, konstitusi Indonesia hanya menganut instrumen judicial review dan legislative review dalam melakukan peninjauan terhadap UU, tidak mengenai pengujian terhadap RUU (judicial/legislative preview) sebagaimana dipraktikan di Perancis," terang Umbu.
Diketahui, UU yang diajukan untuk diuji materi belum memiliki nomor dan tahun sehingga masih berupa titik-titik. Pengajuan uji materi tersebut terdaftar dengan "Nomor Perkara 57/PUU-XVII/2019 perihal Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945".
Lebih lanjut Umbu mengatakan, terkait dengan informasi pendaftaran permohonan ke MK untuk menguji UU KPK hasil perubahan, harus dipastikan terlebih dahulu, apakah RUU Perubahan UU KPK yang telah dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden atau belum?
"Jika belum disahkan dan diundangkan, maka dapat dipastikan permohonan pengujian ke MK belum lengkap, dan dikembalikan oleh MK melalui Kepaniteraan. Namun sebaliknya, jika telah diundangkan, maka telah memenuhi salah satu syarat yaitu obyek pengujian berupa UU," kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW ini.
Dirinya juga menambahkan dalam permohonan pengujian UU harus dipertegas apakah pengujian bersifat materil atau formil, karena implikasi hasil pengujian yang berbeda.
MK memberi waktu kepada para pemohon uji materi terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK hingga Senin 14 Oktober 2019. Perbaikan tersebut diminta setelah MK memberikan catatan dalam sidang perdana hari ini. ***Vincent Suriadinata