DPR Didesak Hapus Pasal Penghinaan Terhadap Pengadilan



Jakarta, Info Breaking News – Enam organisasi advokat melayangkan surat kepada DPR yang isinya mendesak agar dewan perwakilan rakyat tersebut menghapus pasal penghinaan terhadap pengadilan dari draft RUU KUHP.

Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum DPN Peradi Luhut M.P Pangaribuan, Ketua Umum DPP Ikadin Roberto Hutagalung, Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Yan Juanda Saputra, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Muhammad Ismak, Dewan Penasehat DPP PERADIN, Frans Hendra Winarta dan juga Ketua KAI Tjoejoek Sanjaya.

Perwakilan advokat Ikadin, Erwin Natosmal Oemar menyebut langkah ini diambil mengingat masih banyak pengadilan yang bermasalah sehingga hakim beserta jajarannya perlu dikritik.

"Kami meminta kepada Tim Perumus RKUHP untuk menghapuskan Pasal 281 dan Pasal 283 RKUHP dan meninjau ulang besaran ancaman pidana yang dikenakan dalam masing-masing pasal yang terkait delik penghinaan dalam proses peradilan,"
kata Erwin, Kamis (5/9/2019).

Erwin menilai pasca Reformasi sistem peradilan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Berdasarkan Rule of Law Index 2019 yang dipublikasikan World Justice Project, sistem peradilan di tanah air masih berada di posisi bawah dimana hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan kita masih kurang memuaskan.

Ditangkapnya sejumlah aktor peradilan oleh KPK lantaran terbukti melakukan pelanggaran menjadi salah satu faktor yang menempatkan sistem peradilan pidana Indonesia di peringkat 13 dari 15 negara di regional (Asia Tenggara) atau peringkat 86 dari 126 negara secara global, dengan nilai 0,37 (dari skala 0-1). Demikian juga dengan sistem peradilan perdata (civil justice), yang berada peringkat 13 dari 15 negara di regional (Asia Tenggara) atau peringkat 102 dari 126 negara di tataran global, dengan nilai 0,44 (dalam skala 0-1).

Dari 55 aktor peradilan yang ditangkap dan divonis bersalah, terdapat 20 orang hakim dan 10 orang panitera atau pegawai pengadilan atau 54 persen dari total aktor judisial corruption yang ditangani oleh lembaga antikorupsi tersebut.

"Secara teori, bahwa dalam sistem hukum kontinental seperti Indonesia, pengaturan contempt of court tidak tepat dimasukan dalam sistem hukum Indonesia karena kekuasan kehakiman di Indonesia sangat besar," tuturnya.

Hal yang berbeda dibandingkan dengan sistem common law di mana hakim yang berperan pasif atau terbatas. Besarnya kewenangan hakim itulah yang kerap menyebabkan kekuasaan kehakiman di Indonesia rentan disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru.

"Harusnya, pemerintah dan DPR mengatur pembatasan kekuasaan dari potensi penyalagunaan kekuasaan kehakiman (contempt of power) bukan mengatur pemidanaan terhadap profesi advokat (contempt of court)," tegasnya.

Perdebatan mengenai RUU KUHP sendiri sejatinya sudah berjalan cukup panjang hingga mencapai lebih dari 50 tahun. Oleh sebab itu, DPR dan Pemerintah mengejar agar RUU KUHP bisa disahkan pada 24 September ini. Nantinya, masa transisi KUHP selama 3 tahun.

"Yang penting sekarang kita sahkan dulu. Tapi kalau masih tetap dianggap belum sempurna, masyarakat bisa mengajukan perubahan dengan mekanisme judicial review. Tapi yang penting sekarang kita sahkan dulu. Dengan demikian, kita tidak terombang-ambing lagi antara berbagai pendapat yang berbeda tersebut," kata anggota Panja RUU KUHP, Taufiqulhadi kepada wartawan, Rabu (3/9/2019) lalu. ***Jerry Art


Subscribe to receive free email updates: