Luhut MP Pangaribuan |
Malang, Info Breaking News - Perhimpunan Advokat Indonesia Rumah Bersama Advokat (Peradi RBA) menyayangkan munculnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA).
Dalam Permenristekdikti ini, diatur prosedur menjadi advokat harus menjalani masa studi PPA paling cepat 2 semester (1 tahun) dan paling lama 6 semester (3 tahun) dengan bobot 24 satuan kredit semester (SKS) dengan wajib mencapai Indeks Prestasi Kumulutaif (IPK) minimal 3,00.
Setelah lulus, mendapat gelar profesi advokat yang diberikan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan berikut sertifikasi dari organisasi advokat. Ketua Umum DPN Peradi RBA, Dr Luhut MP Pangaribuan SH, LL.M mengaku sangat terkejut dengan keluarnya peraturan tersebut.
"Padahal ini menyangkut hal mendasar tentang organisasi dan profesi advokat. Kenapa organisasi advokat tidak diajak bicara," katanya saat jumpa pers sebelum membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Peradi RBA di Hotel Amarta Hills Batu, Malang, kemaren.
Didampingi pengurus DPN Peradi RBA dan Ketua DPC Peradi RBA Malang, Yayan Riyanto SH, MH, ia mengatakan PPA ini dinilai melanggar proses pengangkatan advokat seperti diatur UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang sudah berjalan selama ini. "Mulai menempuh pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), ujian profesi advokat (UPA) yang diselenggarakan organisasi advokat, magang selama dua tahun hingga pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi setempat," ungkap Luhut, sapaannya.
Padahal, selama ini, Peradi RBA sudah bekerja sama dengan fakultas hukum perguruan tinggi berakreditasi B. "Contoh DPC Peradi RBA Malang sudah bekerja sama dengan Universitas Wisnuwardhana saat PKPA. Nah ini ujug-ujug diambil alih oleh perguruan tinggi. Jadi program studi," sesalnya.
Masih kata dia, ini seolah-olah menimbulkan ketidakpastian dalam kewenangan organisasi advokat yang sudah ada. "Tentunya, ini juga menjadi salah satu bahan Rakernas yang kita gelar sekarang. Sikap Peradi RBA masih menghormati keputusan itu. Kami akan melakukan dialog dengan Menristekdikti," tegas pria ini.
Sebab, lanjutnya, konsep itu tidak pas dengan subtansi yang sudah ada. "Jangan emosional. Saya dengar ada yang sudah mengajukan judicial review. Memang harus diperbaiki agar tidak ada advokat yang lahir secara abal-abal karena berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat," papar Luhut.
Sementara itu, isu lain yang diangkat dalam Rakernas kali ini adalah organisasi advokat sebagai independent auxiliary state organ tantangan dan harapan. Nantinya akan ada rekomendasi agar di dunia advokat Indonesia, hanya ada satu kode etik dan satu dewan kehormatan.
"Semua organisasi advokat harus tunduk pada satu kode etik dan dewan kehormatan itu. Seandainya ada anggota dari satu organisasi dipecat, tidak boleh pindah ke organisasi advokat yang lain, karena kode etik dan dewan kehormatannya tunggal," tambah Wakil Ketua Umum DPN Peradi RBA, Imam Hidayat SH, MH *** Dani Setiawan.