Jakarta, Info Breaking News - Titik tonggak keuangan negara telah dipasang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, pemerintah tidak mengajukan perubahan APBN. Pemerintah tetap yakin pada asumsi dasar yang sejak awal disusun dengan sangat hati-hati.
Hal itu yang mendorong semua kementerian/lembaga berfokus menjalankan rencana anggaran secara penuh. Realisasi serapan anggaran kementerian/lembaga menembus Rp 2.202 triliun, yang untuk pertama kalinya bisa mencapai 99,2 persen, dari biasanya yang hanya sampai 90-95 persen.
Kendati serapan belanja relatif tinggi, pembiayaan mengalami kontraksi. Realisasi defisit APBN 2018 sebesar 1,76 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini juga lebih rendah daripada proyeksi APBN 2018 yang sebesar 2,19 persen. Lagi-lagi, besaran defisit ini adalah posisi terkecil sejak 2012.
Kinerja cemerlang tersebut tidak terlepas dari performa pos penerimaan negara. Pendapatan negara pada akhir 2018 terkumpul Rp 1.942,3 triliun dari ancangan yang ditetapkan mula-mula sebesar Rp 1.894,7 triliun. Dengan kata lain, pendapatan negara mencapai 102,5 persen atau melampaui target.
Pemerintah menyadari betul pos penerimaan negara merupakan titik rapuh bangunan APBN. Alhasil, peningkatan signifikan pendapatan negara (16,6 persen) berhasil memperbaiki keseimbangan primer dari minus Rp 87,3 triliun menjadi hanya minus Rp 1,8 triliun. Saldo minus ini menjadi yang terkecil sejak 2011.
Pengendalian keseimbangan primer menjadi poin utama yang patut diapresiasi. Dengan defisit primer yang menurun, pemerintah hendak mengirim sinyal untuk menciptakan APBN yang sehat dan berkelanjutan sebagai prasyarat penting untuk berkontribusi terhadap kinerja ekonomi makro.
Dengan modal APBN 2018 ini, isu utama selanjutnya adalah konsistensi. Kenaikan pendapatan negara disumbang oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN 2018 dipatok Rp 13.400, tapi realisasinya Rp 14.247 per dolar Amerika Serikat. Artinya, windfall profit dari selisih kurs tidak boleh lagi sebagai bantalan APBN.
Ujian konsistensi juga mendapat hadangan dari komposisinya. Kenaikan penerimaan negara paling besar disokong oleh penerimaan negara bukan pajak akibat kenaikan harga minyak dan batu bara di pasar dunia. Padahal harga kedua komoditas unggulan tersebut berada di luar kendali pemerintah.
Harga minyak mentah Indonesia, misalnya, diasumsikan dalam APBN 2019 sebesar US$ 70 per barel. Posisi ini masih bisa melorot di bawah angka asumsi. Walaupun Rusia dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak bersepakat mendorong produksi minyak, langkah tersebut dianggap belum cukup kuat untuk mendongkrak harga minyak dunia.
Sementara itu, permintaan minyak masih berpotensi menurun. Penurunan permintaan ini boleh jadi disebabkan oleh perlambatan ekonomi dunia dan resesi ekonomi Amerika, juga perkembangan teknologi. Permintaan minyak dunia bisa menurun karena penggunaan mobil listrik yang kini intensif dikembangkan.
Catatan penting juga perlu dialamatkan pada perpajakan. Penerimaan pajak masih saja mengalami kekurangan (shortfall) sebesar Rp 108,1 triliun. Angka ini lebih lebar dibanding proyeksi pemerintah sekitar Rp 73,1 triliun. Alhasil, rasio pajak dengan PDB belum beranjak dari posisi 11,5 persen.
Sementara itu, penerimaan pajak pada 2019 ditargetkan mencapai Rp 1.577,6 triliun. Artinya, penerimaan pajak harus ditingkatkan 19,8 persen dari realisasi penerimaan tahun lalu. Jika asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi 3,5 persen, kenaikan penerimaan pajak alami yang dihasilkan baru sebesar 8,8 persen.
Konsekuensinya, 11 persen pertumbuhan penerimaan negara dari sektor pajak harus didapat dari upaya pajak, yang kemungkinan besar akan diarahkan pada sumber dari dalam negeri. Tantangannya, sektor manufaktur sebagai pemasok pajak terbesar tengah mengalami deindustrialisasi.
Tanpa upaya ekstra yang menyasar pada kepatuhan membayar pajak, target penerimaan negara potensial akan meleset, defisit keseimbangan primer dan defisit APBN membesar, serta pembiayaan utang menjadi solusi pintasnya.
Harus diakui bahwa pemerintah tidak sedang dihadapkan pada banyak pilihan kebijakan. Imbal korban senantiasa terjadi. Hasrat untuk mengakselerasi perekonomian melalui kenaikan belanja mengharuskan APBN defisit. Sebaliknya, pengurangan defisit agar utang terpelihara pada level yang aman mensyaratkan penerimaan yang jauh lebih tinggi.
Jadi, semua pemangku kepentingan menantikan postur APBN yang mampu membuat neraca keseimbangan primer tidak bersaldo negatif, syukur-syukur positif. Bila dikalkulasi, keseimbangan primer akan nol jika defisit hanya 1 persen dari PDB, sehingga APBN 2019 lulus ujian konsistensi saat menapaki era baru kebijakan fiskal.*** Jerry Art.