(Tulisan pertama dari 5 tulisan)
Johannes Marcus Pattiasina (mengenakan topi tengah). (foto: dok. Keluarga) |
Pengantar:
"Dalam masa dwifungsi ABRI, tentara masuk dalam bidang sipil itu hal biasa. Jadi, tidak heran kalau banyak anggota TNI berdinas di luar militer. Tapi, Brigjen TNI (purn) Johannes Marcus Pattiasina, justru adalah orang minyak yang menjadi tentara. Dia ditempa dalam revolusi fisik, kemudian menjadi tentara dan mendapat tugas mengurusi perminyakan."
Berikut kami turunkan perjalanan orang Maluku yang berperan besar dalam merintis Pertamina dari puing-puing di Pangkalan Brandan. Tulisan ini bersumber dari berbagai referensi, terutama dari puterinya, Dipl.-Oekonom Engelina H.L. Pattiasina, sosok perempuan yang menjadi inspirator lahirnya deklarasi Darussalam, sebuah deklarasi untuk mengupayakan agar Blok Masela dikelola di darat. Untuk merampungkan tulisan ini, penulis menemui beliau dalam beberapa kesempatan. Semoga tulisan ini dapat menginpirasi kita, bahwa orang Maluku juga mampu berkarya untuk kepentingan orang banyak, dan terbukti memiliki jasa besar dalam perkembangan bangsa ini.
SIAPAPUN yang memiliki kendaraan atau mesin, hampir pasti mengenal dengan baik Pertamina. Johannes Marcus Pattiasina adalah satu tokoh yang tidak banyak dipublikasikan, tapi merupakan tokoh kunci pada masa awal merintis Pertamina.
J.M. Pattiasina merupakan orang Saparua yang lahir di Makassar pada 15 September 1912, karena mengikuti orang tuanya, Marthen Pattiasina yang menjadi Menteri Jalan di Palopo pada zaman Belanda. Dari Makassar menuju ke Jakarta dan bekerja sebagai teknisi di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda dari KPM, Pattiasina pindah ke perusahaan minyak, De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), yakni perusahaan minyak, anak dari perusahaan Royal Dutch Shell.
Pattiasina sempat ditugaskan di tangki minyak milik BPM di Tasikmalaya sebelum pindah ke Shell dan Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschppij (NKPM) di Plaju dan Sungai Gerong, Sumatera Selatan. Di kemudian hari, NKPM berganti nama menjadi Standaard Vacuum Oil Company (Stanvac).
Ketika karirnya sedang menanjak, perjalanan sejarah tidak bisa diduga, Jepang menaklukkan Belanda pada 1942. Perjalanan karir Pattiasina berakhir di perusahaan minyak milik Belanda yang dimulai tahun 1936. Padahal, Pattiasina merupakan satu dari beberapa orang pribumi yang menduduki posisi tinggi untuk ukuran pribumi pada masa itu. Kedatangan pasukan Jepang ke Palembang menyebabkan Pattiasina menyingkir ke Pulau Jawa. Belanda terlebih dahulu menghancurkan kilang di Palembang.
Menghadapi situasi itu, Jepang berusaha mencari informasi mengenai keberadaan teknisi yang bisa memperbaiki kilang milik Belanda. Jepang akhirnya menemukan Pattiasina di Jawa dan kembali ke Palembang. Pattiasina diminta memperbaiki kilang yang dihancurkan Belanda, tapi keberatan karena Pattiasina tidak mau Jepang melihat ketika dia memperbaiki kilang.
Pembangkangan ini menyebabkan Pattiasina mendapat siksaan Jepang. Tapi, bagi Pattiasina itu merupakan pilihan terbaik. Siksaan Jepang itu mematahkan salah satu tulang bahu Pattiasina. Karena kesulitan tenaga teknisi, terpaksa Jepang mengikuti keinginan Pattiasina untuk memperbaiki kilang tanpa disaksikan tentara Jepang.
Setelah kilang bisa berfungsi, Jepang mempercayai Pattiasina sebagai Kepala Pabrik Asano Butai---perusahaan minyak zaman Jepang. Tapi, Pattiasina tetap tidak suka dengan perlakuan Jepang. Pattiasina secara diam-diam menjalin hubungan dengan kelompok pemuda di Sumatera Selatan. Pattiasina mengorganisir pekerja minyak di Palembang. Pada 1945, pekerja minyak ini mengambil alih kilang minyak Jepang, beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan.
Selain mengorganisir pekerja minyak,, Pattiasina juga menjadi komandan laskar rakyat, karena Pattiasina sempat mengenyam pendidikan giyugun, sekolah perwira pada zaman Jepang. Selain itu, Pattiasina aktif dalam perjuangan kemerdekaan di Palembang. Pada masa perang kemerdekaan pertama, Pattiasina berpangkat Letnan Kolonel, yang memegang pasukan minyak. Pasukan rakyat pimpinan Pattiasina juga terlibat dalam perang lima hari lima malam yang terkenal di Palembang itu.
Pemerintahan Sumatera Bagian Selatan mengambil kebijakan untuk membentuk perusahaan minyak, yakni Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri), yang langsung ditangani Pattiasina. Namun, kedatangan sekutu menyebabkan, pejuang terus terdesak. Setelah melalui perundingan, wilayah Indonesia semakin jauh di luar Palembang. Rakyat dan pejuang terpaksa melakukan perjuangan dengan gerilya, pemerintahan juga berpindah ke luar Palembang. Dalam masa gerilya, yakni agresi militer Belanda II ini, pasukan minyak Pattiasina juga berusaha membuat kilang-kilang kecil yang sangat diperlukan untuk memenuhi pasokan pejuang.
Permiri yang dipimpin Pattiasina ini yang secara rutin mensuplai kebutuhan minyak Kesatuan Intelijen Komando Militer Sumatera Bagian Selatan sebanyak 10 ton setiap bulan. Sedangkan, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), juga mendapatkan jatah minyak sebanyak 10 ton untuk setiap kesatuan per bulan.
Di Lebong Tandai yang merupakan markas komando perjuangan, Pattiasina memimpin perusahaan tambang emas. Hasil tambang ini yang digunakan untuk membiayai perjuangan. Pemerintah darurat, bukan saja mengeluarkan kebijakan untuk menerbitkan uang kertas, tapi mereka juga mengeluarkan koin mas. Hasil dari tambang mas ini, yang menjadi modal untuk membiayai perjuangan.
Selama bergerak mundur dalam masa gerilya ini, pasukan minyak atau dikenal juga pasukan Permiri ini selalu membawa "mesin bubut Pattiasina". Dengan modal mesin ini, pasukan Pattiasina memperbaiki kilang, membuat koin mas, dan membuat senjata rakitan dengan kapasitas produksi satu senjata per hari. Dalam masa gerilya inilah pasukan rakyat dilebur bergabung dalam militer Indonesia. Semua mengalami menurunan pangkat kemiliteran, Pattiasina yang semula Letkol diturunkan menjadi kapten.
Pattiasina yang memang memiliki keahlian teknik mumpuni berusaha untuk memperbaiki pesawat yang ditinggalkan dari zaman Jepang. Ketika itu, minyak untuk pesawat terbang dibuat di Tanjung Lontar, Muara Enim. Dari Muara Enim ini, Pattiasina bersama Ibnu Sutowo dan Halim Perdanakusuma berusaha untuk melakukan penerbangan dari Tanjung Lontar menuju Jakarta, dengan menggunakan pesawat bekas Jepang yang sudah diperbaiki Pattiasina.
Dalam masa agreri militer Belanda I dan II ini, Ibnu Sutowo dan JM Pattiasina, juga mendirikan perusahaan dagang yang dinamai Firma Musi. Perusahaan ini digunakan untuk melakukan perdagangan karet dan minyak dengan Singapura melalui Jambi. Selain itu, Pattiasina memindahkan laskar minyak dalam Permiri dari Mangunjaya ke kilang yang lebih besar di Jambi. Pasukan ini yang membantu perbaikan dan menyiapkan minyak mentah untuk penerbangan, yang digunakan untuk menembus blokade laut Belanda pada 1947 sampai 1948. Dalam perjuangan kemerdekaan ini, isteri J.M. Pattiasina, L.J. Mascarena Andaria yang berprofesi sebagai bidan juga terlibat langsung dalam perjuangan fisik di masa perang kemerdekaan I dan II. Selain itu, juga terlibat dalam perjuangan gerilya. Mascarena Andaria juga bergerak mundur dari Palembang ke Lubuk Linggau.
Setelah kembali ke Palembang pada awal Januari 1950, Pattiasina sebagai pimpinan Permiri menyerahkan kembali semua tambang minyak di Sumatera Selatan dan Permiri dikembalikan kepada Gubernur Sipil yang dijabat dr. Moh. Isa.
Kehandalan Pattiasina dalam bidang teknik selama perang gerilya ini, menyebabkan Pattiasina diserahi tiga tugas sekaligus, yakni sebagai Kepala DMT di Tentara dan Teritorium II; Kepala Genie Tentara Teritorium II dan sebagai Wakil Kepala Daerah Tentara Teritorium II. Dengan pangkat kapten itu, Pattiasina dan pasukan "teknik"nya dipercayai untuk melakukan berbagai pekerjaan teknik di Sumatera Selatan. Bukan saja sebagai kepala genie angkatan darat, tetapi Pattiasina memimpin PHB, Genie Tempur, Genie Bangunan, PLAD. Bahkan, Pattiasina harus merangkap sebagai Genie Angkatan Laut dan Genie Angkatan Udara. Hal itu untuk menutupi kekosongan, karena terjadi penyerahan material genie dari Belanda kepada Indonesia, sesuai Surat Penetapan Nomor 165/46/Pen/Bas tertanggal 4 Mei 1950. Belakangan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menetapkan agar di setiap teritorium dibentuk satu Batalyon Genie Pioner.
Ketika sedang merintis Batalion Genie ini, Pattiasina menambah anggota keluarga baru, dengan kelahiran puteri bungsunya di Palembang yang dinamai Engelina Helena Lawobansana Pattiasina pada 2 Oktober 1950. Di kemudian hari, Engelina Pattiasina yang sering disapa Lintje oleh ayahnya ini menjadi peneliti CSIS Jakarta, kemudian bergabung dengan PDI yang kemudian menjelma menjadi PDI Perjuangan. Engelina pernah menjadi anggota MPR RI pada 1992-1997. Kemudian menjadi anggota DPR/MPR RI periode 1999-2004. (bersambung)
Ditulis oleh: Zulfiqar M.A. Lestaluhu, S.Sos, M.Si
Pengajar di Universitas Darussalam Ambon Kampus Induk Tulehu