BERITA MALUKU. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk Komite Advokasi Daerah (KAD) di Provinsi Maluku. Pembentukan Komite Advokasi Daerah di Maluku yang berlangsung di ruang rapat lantai enam kantor Gubernur Maluku, Ambon, pada Kamis (30/8/2018) ini, dihadiri langsung Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan.
Pembentukan komite ini adalah salah satu upaya KPK untuk mencegah korupsi khususnya di sektor bisnis.
Pertemuan ini dihadiri para pemangku kepentingan komite advokasi, yakni Pemerintah Provinsi, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ULP, beberapa OPD Provinsi Maluku, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dan Provinsi Maluku, Asosiasi pengusaha Maluku, akademisi dan CSO.
Gubernur Maluku, Said Assagaff dalam sambutannya berharap, Komite Advokasi anti korupsi dapat menjadi wadah komuniksi efektif antara regulator pemerintah dan dunia usaha, dalam membahas isu strategis.
Dijelaskan, sesuai data penindakan kasus korupsi yang ditangani KPK, kurang lebih 80 persen melibatkan para pelaku usha.
Diakuinya, sampai saat ini belum ada banyak aturan atau regulasi pemberantasan korupsi yang diatur untuk sektor swasta. Sedangkan di lembaga Pememerintahan regulasinya sudah jelas, bila kedapatan terjadi tindak pidana korupsi maka langsung diberhentikan dengan tidak hormat.
Transparansi dan pembehanan sistem pengurusan perizinan untuk pencegahan korupsi telah dilaksanakan pemerintah lewat laporan-laporan, yang dilampirkan per triwulan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Hal ini dilakukan, agar sektor swasta dapat bekerja lebih profesional. Apalagi dengan dibentuknya Komisi Advokasi Anti Korupsi Maluku, dengan harapan dapat menjalankan tugas sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Dijelaskan, dalam pelaksanaannya, ada sejumlah modus yang dilakukan pengusha, salah satunya dengan pemberian hadiah atau upah yang disebut gratifikasi bagi penyelanggara negara. Seperti proyek pengadaan barang dan jasa maupun dalam perijinan.
Menurutnya, banyak pengusha mengaku terpaksa, bahkan dipaksa untuk melakukan praktek seperti ini.
Untuk itu, komite yang dibentuk ini harus konsisten. Sehingga pengusaha akan lebih profesional dalam menjalankan usahanya.
"Mari bangun daerah ini, apabila terdapat hambatan terkait dengan ijin, komite ini bisa memberikan solusi atau menjembatani tiap kendala yang dihadapi," pintanya.
Sementara itu. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan mengatakan, komite ini dibentuk sebagai forum komunikasi dan advokasi antara regulator dan pelaku usaha. Dalam forum ini, kedua belah pihak dapat menyampaikan dan menyelesaikan bersama kendala yang dihadapi dalam penciptaan lingkungan bisnis yang berintegritas.
"Kami ingin mengajak pemerintah daerah dan pengusaha mencari solusi untuk kendala-kendala dalam menjaga iklim investasi di daerah," kata Panjaitan.
Kepada wartawan, Panjaitan menjelaskan, pembentukan Komite Advokasi Daerah di Maluku ini adalah salah satu cara agar para pengusaha berani melaporkan kalau ada penyelenggara negara di dalam tugasnya misalnya dalam pengadaan barang dan jasa meminta sesuatu.
"Ini cara-cara yang kita gunakan untuk membenahi agar semua bisa berjalan sesuai aturan tanpa ada kerusakan diantara pengusaha dan penyelenggara pemerintahan, ini kita benahi bersama, harus ada kepedulian dari kedua belah pihak," terangnya.
Sebelum pembentukan KAD ini, kata dia, pelaku usaha sebelumnya dikumpulkan untuk melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) pada Rabu, 29 Agustus 2018 di Hotel Hero Maluku.
FGD ini dihadiri oleh KADIN Maluku, APINDO Maluku, HIPMI Maluku, GAPEKSINDO Maluku, GAPENSI Maluku, APHI Maluku, perwakilan akademisi dari Universitas Pattimura Maluku serta perwakilan dari CSO.
Berdasarkan hasil FGD tersebut ditemukan dua masalah utama yaitu terkait proses pengadaan barang dan jasa dan keterlibatan pelaku usaha dalam tindak pidana korupsi karena kurangnya pemahaman pelaku usaha tentang tindak pidana korupsi dan regulasinya serta kurangnya sosialisasi dari regulator.
Pembentukan Komite Advokasi Daerah tak hanya dibentuk di tingkat daerah tetapi juga tingkat nasional. Di tingkat nasional, komite ini bernama Komite Advokasi Nasional Antikorupsi. Sebagai permulaan pada tahun 2017 ada lima sektor yang digarap di tingkat nasional yaitu minyak dan gas, pangan, infrastruktur, kesehatan, dan kehutanan.
Di tingkat nasional, komite advokasi ini dibentuk di sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dengan melibatkan asosiasi usaha dan kementerian/lembaga terkait. Untuk tingkat daerah, komite ini dibentuk berdasarkan geografis dengan melibatkan KADIN dan regulator daerah. Pada tahun 2017 KAD sudah dibentuk di 8 provinsi, dan pada tahun 2018 ini KAD akan dibentuk di 26 provinsi lainnya termasuk provinsi Jambi.
Gagasan pembentukan kedua komite ini berasal dari pengalaman KPK bahwa 80 persen penindakan yang ditangani KPK melibatkan para pelaku usaha. Umumnya modus yang dilakukan berupa pemberian hadiah atau gratifikasi dan tindak pidana suap dalam rangka mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara, seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan.
Hingga Mei 2018, KPK mencatat pihak swasta sebagai pelaku tindak pidana korupsi terbanyak kedua yaitu berjumlah 198 orang.
Pembentukan komite ini adalah salah satu upaya KPK untuk mencegah korupsi khususnya di sektor bisnis.
Pertemuan ini dihadiri para pemangku kepentingan komite advokasi, yakni Pemerintah Provinsi, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ULP, beberapa OPD Provinsi Maluku, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dan Provinsi Maluku, Asosiasi pengusaha Maluku, akademisi dan CSO.
Gubernur Maluku, Said Assagaff dalam sambutannya berharap, Komite Advokasi anti korupsi dapat menjadi wadah komuniksi efektif antara regulator pemerintah dan dunia usaha, dalam membahas isu strategis.
Dijelaskan, sesuai data penindakan kasus korupsi yang ditangani KPK, kurang lebih 80 persen melibatkan para pelaku usha.
Diakuinya, sampai saat ini belum ada banyak aturan atau regulasi pemberantasan korupsi yang diatur untuk sektor swasta. Sedangkan di lembaga Pememerintahan regulasinya sudah jelas, bila kedapatan terjadi tindak pidana korupsi maka langsung diberhentikan dengan tidak hormat.
Transparansi dan pembehanan sistem pengurusan perizinan untuk pencegahan korupsi telah dilaksanakan pemerintah lewat laporan-laporan, yang dilampirkan per triwulan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Hal ini dilakukan, agar sektor swasta dapat bekerja lebih profesional. Apalagi dengan dibentuknya Komisi Advokasi Anti Korupsi Maluku, dengan harapan dapat menjalankan tugas sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Dijelaskan, dalam pelaksanaannya, ada sejumlah modus yang dilakukan pengusha, salah satunya dengan pemberian hadiah atau upah yang disebut gratifikasi bagi penyelanggara negara. Seperti proyek pengadaan barang dan jasa maupun dalam perijinan.
Menurutnya, banyak pengusha mengaku terpaksa, bahkan dipaksa untuk melakukan praktek seperti ini.
Untuk itu, komite yang dibentuk ini harus konsisten. Sehingga pengusaha akan lebih profesional dalam menjalankan usahanya.
"Mari bangun daerah ini, apabila terdapat hambatan terkait dengan ijin, komite ini bisa memberikan solusi atau menjembatani tiap kendala yang dihadapi," pintanya.
Sementara itu. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan mengatakan, komite ini dibentuk sebagai forum komunikasi dan advokasi antara regulator dan pelaku usaha. Dalam forum ini, kedua belah pihak dapat menyampaikan dan menyelesaikan bersama kendala yang dihadapi dalam penciptaan lingkungan bisnis yang berintegritas.
"Kami ingin mengajak pemerintah daerah dan pengusaha mencari solusi untuk kendala-kendala dalam menjaga iklim investasi di daerah," kata Panjaitan.
Kepada wartawan, Panjaitan menjelaskan, pembentukan Komite Advokasi Daerah di Maluku ini adalah salah satu cara agar para pengusaha berani melaporkan kalau ada penyelenggara negara di dalam tugasnya misalnya dalam pengadaan barang dan jasa meminta sesuatu.
"Ini cara-cara yang kita gunakan untuk membenahi agar semua bisa berjalan sesuai aturan tanpa ada kerusakan diantara pengusaha dan penyelenggara pemerintahan, ini kita benahi bersama, harus ada kepedulian dari kedua belah pihak," terangnya.
Sebelum pembentukan KAD ini, kata dia, pelaku usaha sebelumnya dikumpulkan untuk melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) pada Rabu, 29 Agustus 2018 di Hotel Hero Maluku.
FGD ini dihadiri oleh KADIN Maluku, APINDO Maluku, HIPMI Maluku, GAPEKSINDO Maluku, GAPENSI Maluku, APHI Maluku, perwakilan akademisi dari Universitas Pattimura Maluku serta perwakilan dari CSO.
Berdasarkan hasil FGD tersebut ditemukan dua masalah utama yaitu terkait proses pengadaan barang dan jasa dan keterlibatan pelaku usaha dalam tindak pidana korupsi karena kurangnya pemahaman pelaku usaha tentang tindak pidana korupsi dan regulasinya serta kurangnya sosialisasi dari regulator.
Pembentukan Komite Advokasi Daerah tak hanya dibentuk di tingkat daerah tetapi juga tingkat nasional. Di tingkat nasional, komite ini bernama Komite Advokasi Nasional Antikorupsi. Sebagai permulaan pada tahun 2017 ada lima sektor yang digarap di tingkat nasional yaitu minyak dan gas, pangan, infrastruktur, kesehatan, dan kehutanan.
Di tingkat nasional, komite advokasi ini dibentuk di sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dengan melibatkan asosiasi usaha dan kementerian/lembaga terkait. Untuk tingkat daerah, komite ini dibentuk berdasarkan geografis dengan melibatkan KADIN dan regulator daerah. Pada tahun 2017 KAD sudah dibentuk di 8 provinsi, dan pada tahun 2018 ini KAD akan dibentuk di 26 provinsi lainnya termasuk provinsi Jambi.
Gagasan pembentukan kedua komite ini berasal dari pengalaman KPK bahwa 80 persen penindakan yang ditangani KPK melibatkan para pelaku usaha. Umumnya modus yang dilakukan berupa pemberian hadiah atau gratifikasi dan tindak pidana suap dalam rangka mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara, seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan.
Hingga Mei 2018, KPK mencatat pihak swasta sebagai pelaku tindak pidana korupsi terbanyak kedua yaitu berjumlah 198 orang.