Dedy Mulyadi |
Jakarta, Info Breaking News - Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menilai Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat menjadi penanda berakhirnya tren kesuksesan politik citra. Istilah politik citra mendominasi berbagai kontestasi politik selama satu dekade terakhir di Indonesia.
Dikatakan Dedi, politik citra kini telah berubah menjadi politik gerilya teritorial, yakni, sebuah upaya politik untuk menjaring berbagai segmen pemilih melalui jaringan darat yang mengakar. Hal ini disampaikan Dedi di Kantor DPD Golkar Jawa Barat, Bandung, Sabtu (20/6).
Dedi yang juga mantan Bupati Purwakarta mengingatkan Partai Golkar dan partai-partai pendukung Jokowi untuk mewaspadai perubahan tren ini dalam menghadapi Pilpres 2019 mendatang. "Di Pilgub Jabar ini, survei banyak yang meleset. Analisis pakar banyak yang meleset. Artinya, ada perubahan fenomena, politik citra berubah menjadi politik gerilya teritorial. Ini harus diwaspadai Partai Golkar di Pilpres 2019, termasuk partai lain pengusung Pak Jokowi," kata Dedi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (30/6).
Dedi menilai Jawa Barat memiliki posisi yang strategis dalam panggung politik nasional. Dengan 31 juta pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), Jawa Barat dipastikan akan menjadi incaran para calon presiden di Pilpres 2019. Semua calon presiden dipastikan ingin menjadikan Jawa Barat sebagai basis pemilihnya demi insentif elektoral.
Dedi Mulyadi sendiri bertarung di Pilgub Jabar bersama pasangannya Deddy Mizwar. Pasangan nomor urut 4 tersebut hanya mampu menempati posisi ketiga dengan raihan 25,8 persen suara. Hasil tersebut jauh dari prediksi berbagai lembaga survei dalam rilisnya karena tersalip pasangan Sudrajat-Syaikhu di angka 28,37 persen. Sementara pasangan Ridwan Kamil-Uu (Rindu) keluar sebagai pemenangan dengan persentase suara sebesar 33,12 persen. Padahal, dalam survei sebelum hari pencoblosan, pasangan Rindu diprediksi akan bersaing ketat dengan pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi atau Duo DM. "Anda bayangkan, mohon maaf, elektabilitas di awal rendah, lalu naik ke 10 persen. Kemudian, loncat ke 15 persen sampai akhirnya 28 persen saat pemilihan," kata Dedi.
Atas fenomena ini, Dedi menilai terdapat gelombang peralihan pilihan politik seminggu jelang pemilihan berlangsung Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Salah satunya melalui gerilya teritorial. "Artinya, ada pergerakan besar dengan strategi yang ampuh, menyasar teritorial dengan cara bergerilya. Sehingga, akibatnya mengubah konstelasi Pilgub Jabar," jelasnya.
Gelombang peralihan dukungan itulah yang mengakibatkan ceruk suara Duo DM tergerus saat hari pencoblosan. Kang Dedi menjelaskan, karakteristik pemilihnya dan pemilih Deddy Mizwar memang berbeda. Deddy Mizwar, katanya memiliki basis pemilih yang sebagian besar beririsan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini lantaran, Deddy Mizwar didukung oleh partai berbasis pemilih Islam itu saat berpasangan dengan Ahmad Heryawan di Pilgub 2013.
Bahkan, PKS pernah mewacanakan untuk mendukung Deddy Mizwar dengan Ahmad Syaikhu. Sementara Dedi Mulyadi, memiliki basis pemilih tradisional yang kuat. Pemilih tersebut telah terpapar sosialisasi kemajuan Purwakarta. Hal ini dibuktikan dengan dominasi Dedi Mulyadi di Purwakarta, Subang dan Karawang. Selain itu, pinggiran Kabupaten dan Kota Bekasi pun menjadi basis pria yang lekat dengan iket Sunda makutawangsa itu. "Ada kutub pemilih yang berbeda antara saya dengan Pak Demiz. Pemilih Pak Demiz banyak beririsan dengan PKS. Juga terkait partai pengusung Pak Demiz, mungkin belum sejalan dengan konstelasi Pilpres 2019. Sehingga, basis elektoral ini yang mengalihkan dukungan," katanya.
Dedi mengungkapkan, momentum peralihan dukungan ini mulai terjadi pada Debat Publik Pilgub Jabar kedua di Depok Jawa Barat. Saat itu, Pasangan Sudrajat-Syaikhu memperlihatkan kaus bertuliskan #2019GantiPresiden. Kondisi ini semakin diperparah dengan manuver Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam konferensi pers di Kota Bogor, SBY menyebut bahwa Pj Gubernur Jawa Barat M Iriawan menggeledah rumah dinas wakil gubernur. Sementara Partai Golkar, tempat Dedi Mulyadi berkiprah mendukung Joko Widodo dalam Pilpres 2019 mendatang. Perbedaan ceruk suara inilah yang mengakibatkan basis elektoral pasangan Duo DM tidak solid. "Dalam posisi ini, kami paling dirugikan. Suara kami tergerus hingga 15 persen," ucapnya.
Meski demikian, Dedi mengaku bahagia. Sebab, dengan gelombang berbagai isu yang menyerangnya, basis tradisional Dedi tetap terjaga dengan baik. "Saya bahagia karena basis saya tidak hancur. Kalau dulu sebelum Pilgub Jabar suara saya 15 persen, sekarang ada di angka 25 persen," tuturnya.
Sementara Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izul Fatah menilai Pilgub Jabar telah melahirkan Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil sebagai bintang elektoral. Gelar 'bintang elektoral' yang disematkan kepada keduanya bukan tanpa dasar. Toto menilai, keduanya merupakan figur fenomenal karena mampu menyumbang insentif elektoral besar bagi pasangannya masing-masing. "Kalau kita lihat, ada dua figur fenomenal. Yakni, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil. Pada dua survei yang kita rilis, mereka penyumbang elektabilitas tertinggi," kata Toto saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Toto memberikan catatan khusus untuk Dedi Mulyadi. Menurutnya, Dedi menjadi faktor determinan perolehan suara Duo DM. Kondisi ini menyusul stagnannya tingkat pengenalan Calon Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. "Kalau head to head Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, ini kalah jauh. Syukur ada Dedi Mulyadi yang jika head to head dengan cawagub lain, dia paling unggul. Angka elektabilitasnya 40 persen," katanya.*** Candra Wibawanti.