BERITA MALUKU. Wakil ketua komisi B DPRD Maluku, Abdullah Marasabessy mengatakan, keberadaan Pelabuan Pendaratan Ikan (PPN) Tantui Ambon saat ini ibarat "mati suri' pascapemberlakuan moratorium bidang perikanan.
"Moratorium berakibat Pelabuhan Perikanan Nusantara di Ambon juga seperti mati suri, karena mereka sangat bergantung pada beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan milik perusahaan yang masuk ke sini," kata Abdullah di Ambon, Jumat (2/2/2018).
Menurut dia, kebijakan moratorium bidang perikanan dari kementerian di satu sisi sebenarnya baik untuk jangka panjang, tetapi perlu juga diperhitungkan dampak jangka pendeknya.
Akibat moratorium, banyak perusahaan perikanan tutup usaha dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja secara masal, sehingga tidak sedikit masyarakat kehilangan sumber pendapatan guna menghidupi keluarga.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah harus memikirkan efek jangka pendeknya, jangan moratorium dikeluarkan kemudian ada perusahaan tutup karena tidak bisa melaksanakan kegiatan.
"Jadi dampak negatif jangka pendek harus dipikirkan sebagai akibat dari tidak beroperasinya perusahaan-perusahaan perikanan, termasuk juga dengan PPN Tantui Ambon yang sekarang bagaikan mati suri karena mereka lebih banyak teradopsi dengan kapal-kapal yang melakukan aktivitas penangkapan kemudian melakukan bongkar muat di sana," ujarnya.
Bukan saja PPN Tantui, lanjutnya, tetapi semua Pelabuhan Pendaratan Ikan yang ada bagaikan hidup segan mati tak mau.
"Bukan saja pegawai di sana merasakan dampaknya, tetapi masyarakat yang selama ini beraktivitas turut membantu bongkar muat dan sebagainya ikut merasakan dampaknya," katanya.
Ia juga menyatakan, kebijakan moratorium bidang perikanan juga dinilai tidak adil terhadap kondisi dan wilayah geografis Maluku yang berkarakter kepulauan.
Abdullah Marsabessy lebih jauh menyatakan dirinya tidak sependapat dengan anggapan bahwa kebijakan Menteri Perikanan itu telah mempengaruhi tingginya angka kemiskinan di Provinsi Maluku.
Ia berpendapat, kemiskinan masyarakat di Maluku bukan dampak dari kebijakan satu sektor saja, namun juga akibat dari berbagai faktor termasuk alokasi DAK bagi daerah berdasarkan ketentuan jumlah penduduk dan luas daratan.
"DAK serta DAU diberikan dengan memperhitungkan indikator jumlah penduduk dan luas daratan, sepertinya itu juga tidak adil," tandasnya.
"Mana mungkin mengelola 500 orang di Pulau Jawa yang wilayahnya kontinental harus sama dengan di Maluku yang tersebar hampir di berbagai pulau. Rentang kendalinya jelas berbeda," tambahnya.
"Moratorium berakibat Pelabuhan Perikanan Nusantara di Ambon juga seperti mati suri, karena mereka sangat bergantung pada beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan milik perusahaan yang masuk ke sini," kata Abdullah di Ambon, Jumat (2/2/2018).
Menurut dia, kebijakan moratorium bidang perikanan dari kementerian di satu sisi sebenarnya baik untuk jangka panjang, tetapi perlu juga diperhitungkan dampak jangka pendeknya.
Akibat moratorium, banyak perusahaan perikanan tutup usaha dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja secara masal, sehingga tidak sedikit masyarakat kehilangan sumber pendapatan guna menghidupi keluarga.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah harus memikirkan efek jangka pendeknya, jangan moratorium dikeluarkan kemudian ada perusahaan tutup karena tidak bisa melaksanakan kegiatan.
"Jadi dampak negatif jangka pendek harus dipikirkan sebagai akibat dari tidak beroperasinya perusahaan-perusahaan perikanan, termasuk juga dengan PPN Tantui Ambon yang sekarang bagaikan mati suri karena mereka lebih banyak teradopsi dengan kapal-kapal yang melakukan aktivitas penangkapan kemudian melakukan bongkar muat di sana," ujarnya.
Bukan saja PPN Tantui, lanjutnya, tetapi semua Pelabuhan Pendaratan Ikan yang ada bagaikan hidup segan mati tak mau.
"Bukan saja pegawai di sana merasakan dampaknya, tetapi masyarakat yang selama ini beraktivitas turut membantu bongkar muat dan sebagainya ikut merasakan dampaknya," katanya.
Ia juga menyatakan, kebijakan moratorium bidang perikanan juga dinilai tidak adil terhadap kondisi dan wilayah geografis Maluku yang berkarakter kepulauan.
Abdullah Marsabessy lebih jauh menyatakan dirinya tidak sependapat dengan anggapan bahwa kebijakan Menteri Perikanan itu telah mempengaruhi tingginya angka kemiskinan di Provinsi Maluku.
Ia berpendapat, kemiskinan masyarakat di Maluku bukan dampak dari kebijakan satu sektor saja, namun juga akibat dari berbagai faktor termasuk alokasi DAK bagi daerah berdasarkan ketentuan jumlah penduduk dan luas daratan.
"DAK serta DAU diberikan dengan memperhitungkan indikator jumlah penduduk dan luas daratan, sepertinya itu juga tidak adil," tandasnya.
"Mana mungkin mengelola 500 orang di Pulau Jawa yang wilayahnya kontinental harus sama dengan di Maluku yang tersebar hampir di berbagai pulau. Rentang kendalinya jelas berbeda," tambahnya.