(Oleh: Thomas Tomalatu Wakanno, SH)
KONSENSUS Negara Demokrasi telah memastikan terselenggaranya Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota sebagai salah satu indikator yang mutlak harus dijalankan.
Oleh karena itu, Pemilu sudah menjadi bagian integral historis daripada pelaksanaan sistim ketatanegaraan kita dan tentu saja sudah diserap sebagai pengetahuan dasar bagi hak politik rakyat Indonesia.
Untuk menjamin Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil serta demokratis sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1, 2) jo Pasal 6A Ayat (1) jo Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kedaualatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Umum/dan atau Pemilihan yang berkualitas.
Pemilu itu penting dalam Negara Demokrasi disebabkan karena Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemilu juga merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas Negara dan Pemerintah.
Dalam Tatanan Demokrasi, Pemilu juga menjadi mekanisme atau cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat ke tataran Badan Perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Oleh karena itu, sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, maka Pemilu menjadi kunci terciptanya Demokrasi, karena tidak ada Demokrasi tanpa diikuti Pemilu.
Dalam kerangka pentingnya Pemilu/Pemilihan tersebut, terselip problem mendasar tentang issu partisipasi politik rakyat. Hal ini sangat penting mengingat partisipasi rakyat dalam setiap Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan bagian integral dari penyelenggaraan Pemilu sesuai asasnya yang bersifat langsung, sehingga menjadi sangat substansial terkait pentingnya partisipasi politik rakyat dalam setiap penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan.
Oleh karena itu, untuk menjamin hasil Pemilu yang baik dan berkualitas, maka proses penyelenggaraannya pun harus memenuhi derajat yang berkualitas pula sehingga setiap Tahapan Pemilu harus dapat dipastikan secara jujur dan adil demi menyelamatkan suara rakyat.
Pemilu memiliki banyak kendala dan batasan untuk mendorong proses partisipasi rakyat, diantaranya batasan peraturan, akses pengetahuan, pemetaan stakeholder, penjadwalan/waktu, anggaran dan teritori. Sejumlah batasan tersebut jika tidak mampu diatasi, maka pada gilirannya justru akan menjadi kontra produktif untuk mendorong partisipasi politik rakyat.
Faktanya, partisipasi politik rakyat dalam pelaksanaan pesta demokrasi selama ini hanya sekedar dimaknai secara terbatas, yakni cukup dengan hanya memberikan hak pilihnya pada hari pemungutan suara di TPS. Padahal sebagai pemegang kedaulatan, posisi rakyat dalam Pemilu bukanlah obyek untuk dieksploitasi dukungannya, melainkan harus ditempatkan sebagai subyek termasuk dalam mengawal integritas Pemilu, yang salah satunya melalui pengawasan Pemilu.
Partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, sama pentingnya dengan upaya memperdalam proses demokrasi di tingkat akar rumput. Jika prasyarat standar demokrasi adalah terlaksananya Pemilu, maka partisipasi adalah salah satu indikator kualitas demokrasi.
Adagium yang terkenal dalam demokrasi adalah; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan partisipsi adalah merupakan pengejawantahan pikiran demokratis tersebut. Namun Partisipasi politik rakyat pada setiap hajatan demokrasi tersebut menjadi problem ketika dihadapkan dengan tantangan memperdalam makna demokrasi itu sendiri, sehingga bagaimana posisi partisipasi politik rakyat pada Pemilu/Pemilihan menjadi bernilai demokratis.
Pada prinsipnya semua pihak telah bersepakat tentang betapa urgennya partisipasi politik rakyat pada setiap Pemilu/Pemilihan, namun implementasi peran tersebut tereduksi secara signifikan hanya menjadi persoalan di tingkat elit politik dan Penyelenggara Pemilu.
Data empiris terkait rendahnya partisipasi politik rakyat dalam hajatan Demokrasi Lokal, dapat dirujuk dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku putaran kedua Tahun 2013 yaitu hanya sejumlah (67%) tingkat partisipasi pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dapat menyalurkan hak politik di TPS.
Selain itu pula persoalan lain yang muncul adalah, tidak terjaminnya hak memilih Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini bisa dirujuk pula pada kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam setiap Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah dari waktu ke waktu. Problem ini adalah merupakan bukti kegagalan elit politik dan Penyelenggara Pemilu untuk melindungi hak politik rakyat untuk memilih.
Dari gambaran yang demikian itu, maka menurut penulis dalam konteks Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota kedepan, tidak bisa dipungkiri masih terdapatnya mayoritas masyarakat yang perlu menemukan ruang ekspresinya untuk merespon Pemilu, yang salah satunya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan merupakan suatu kehendak yang didasari keprihatinan luhur, demi tercapainya Pemilu yang berkualitas. Suatu Pemilu/Pemilihan yang dijalankan tanpa mekanisme dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri, maka akan menjadikan Pemilu sebagai proses pembentukan kekuasaan yang sarat dipenuhi dengan berbagai segala kecurangan.
Dalam situasi demikian itu, Pemilu telah kehilangan legitimasinya dan Pemerintahan yang dihasilkan pun sesungguhnya juga tidak memiliki legitimasi pula. Ketika berangkat dari pemahaman demikian, dan dalam rangka menjamin tercapainya Pemilu/Pemilihan yang berkualitas dan demokratis, maka menurut hemat penulis tentu kita harus menjadikan pengawasan itu sebagai suatu kebutuhan dasar, karena pengawasan merupakan keharusan, bahkan merupakan elemen yang melekat pada setiap Pemilu baik nasional maupun lokal. Pengawasan Partisipatif merupakan bagian dari manifestasi kedaulatan rakyat dan penguatan partisipasi politik masyarakat.
Pada Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Tahun 2018 yang pelaksanaannya secara serentak dengan 101 Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, dan secara bersamaan pula akan berlangsung Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara serentak Tahun 2019, maka tentu kita semua sangat berharap agar semakin terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat agar kiranya proses demokrasi di level Nasional maupun Lokal ini bisa terlaksana secara jujur dan adil, sekaligus dapat menciptakan kepemimpinan yang memiliki legitimasi kuat.
Hal ini didasarkan pada pemahaman dan kesadaran kita bersama bahwa ketika proses penyelenggaraan Pemilihan Umum/Pemilihan hanya menjadi ajang serimonial politik belaka yang menafikan partisipasi politik masyarakat, maka kita tidak dapat menemukan pendidikan dan pembelajaran politik yang baik bagi proses demokrasi, karena sesungguhnya pengawasan partisipatif ini merupakan ruang pembelajaran politik bagi semua pihak, dan sebagai pengawalan atas hak dasar warga Negara yaitu hak suara untuk tidak disalahgunakan.
Pelibatan Masyarakat luas dalam pengawasan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota adalah merupakan upaya kongkrit pencegahan terhadap pelanggaran Pemilu/Pemilihan. Pelibatan Masyarakat juga akan memasifkan proses internalisasi nilai-nilai demokrasi, prinsip-prinsip pemilu demokratis, dan semangat konstitusionalisme UUD 1945. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam pengawasan partisipatif selain sebagai upaya pencegahan pelanggaran sedini mungkin, juga merupakan kegiatan pendidikan politik masyarakat, yang bertujuan meminimalisir kasus-kasus pelanggaran dan sengketa pemilu yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pemilu.
Oleh karena itu untuk efektivitas pelaksanaan tugas Bawaslu dan jajaran pengawasan yaitu; untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya pemilu yang demokratis, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan pengawasan partisipatif adalah; i). Bawaslu dan jajaran pengawas pada semua tingkatan perlu mengidentifikasi upaya dan langkah-langkah kongkrit apa saja yang dapat ditempuh untuk meningkatkan partisipasi publik; ii). Bawaslu dan jajaran pengawas pada semua tingkatan perlu mengidentifikasi informasi seperti apa yang harus perlu dipublikasikan untuk mendorong pengawasan partisipatif dari publik. S E M O G A !!!
KONSENSUS Negara Demokrasi telah memastikan terselenggaranya Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota sebagai salah satu indikator yang mutlak harus dijalankan.
Oleh karena itu, Pemilu sudah menjadi bagian integral historis daripada pelaksanaan sistim ketatanegaraan kita dan tentu saja sudah diserap sebagai pengetahuan dasar bagi hak politik rakyat Indonesia.
Untuk menjamin Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil serta demokratis sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1, 2) jo Pasal 6A Ayat (1) jo Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kedaualatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan Umum/dan atau Pemilihan yang berkualitas.
Pemilu itu penting dalam Negara Demokrasi disebabkan karena Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemilu juga merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas Negara dan Pemerintah.
Dalam Tatanan Demokrasi, Pemilu juga menjadi mekanisme atau cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat ke tataran Badan Perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Oleh karena itu, sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, maka Pemilu menjadi kunci terciptanya Demokrasi, karena tidak ada Demokrasi tanpa diikuti Pemilu.
Dalam kerangka pentingnya Pemilu/Pemilihan tersebut, terselip problem mendasar tentang issu partisipasi politik rakyat. Hal ini sangat penting mengingat partisipasi rakyat dalam setiap Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan bagian integral dari penyelenggaraan Pemilu sesuai asasnya yang bersifat langsung, sehingga menjadi sangat substansial terkait pentingnya partisipasi politik rakyat dalam setiap penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan.
Oleh karena itu, untuk menjamin hasil Pemilu yang baik dan berkualitas, maka proses penyelenggaraannya pun harus memenuhi derajat yang berkualitas pula sehingga setiap Tahapan Pemilu harus dapat dipastikan secara jujur dan adil demi menyelamatkan suara rakyat.
Pemilu memiliki banyak kendala dan batasan untuk mendorong proses partisipasi rakyat, diantaranya batasan peraturan, akses pengetahuan, pemetaan stakeholder, penjadwalan/waktu, anggaran dan teritori. Sejumlah batasan tersebut jika tidak mampu diatasi, maka pada gilirannya justru akan menjadi kontra produktif untuk mendorong partisipasi politik rakyat.
Faktanya, partisipasi politik rakyat dalam pelaksanaan pesta demokrasi selama ini hanya sekedar dimaknai secara terbatas, yakni cukup dengan hanya memberikan hak pilihnya pada hari pemungutan suara di TPS. Padahal sebagai pemegang kedaulatan, posisi rakyat dalam Pemilu bukanlah obyek untuk dieksploitasi dukungannya, melainkan harus ditempatkan sebagai subyek termasuk dalam mengawal integritas Pemilu, yang salah satunya melalui pengawasan Pemilu.
Partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, sama pentingnya dengan upaya memperdalam proses demokrasi di tingkat akar rumput. Jika prasyarat standar demokrasi adalah terlaksananya Pemilu, maka partisipasi adalah salah satu indikator kualitas demokrasi.
Adagium yang terkenal dalam demokrasi adalah; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan partisipsi adalah merupakan pengejawantahan pikiran demokratis tersebut. Namun Partisipasi politik rakyat pada setiap hajatan demokrasi tersebut menjadi problem ketika dihadapkan dengan tantangan memperdalam makna demokrasi itu sendiri, sehingga bagaimana posisi partisipasi politik rakyat pada Pemilu/Pemilihan menjadi bernilai demokratis.
Pada prinsipnya semua pihak telah bersepakat tentang betapa urgennya partisipasi politik rakyat pada setiap Pemilu/Pemilihan, namun implementasi peran tersebut tereduksi secara signifikan hanya menjadi persoalan di tingkat elit politik dan Penyelenggara Pemilu.
Data empiris terkait rendahnya partisipasi politik rakyat dalam hajatan Demokrasi Lokal, dapat dirujuk dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku putaran kedua Tahun 2013 yaitu hanya sejumlah (67%) tingkat partisipasi pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dapat menyalurkan hak politik di TPS.
Selain itu pula persoalan lain yang muncul adalah, tidak terjaminnya hak memilih Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini bisa dirujuk pula pada kekacauan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam setiap Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah dari waktu ke waktu. Problem ini adalah merupakan bukti kegagalan elit politik dan Penyelenggara Pemilu untuk melindungi hak politik rakyat untuk memilih.
Dari gambaran yang demikian itu, maka menurut penulis dalam konteks Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota kedepan, tidak bisa dipungkiri masih terdapatnya mayoritas masyarakat yang perlu menemukan ruang ekspresinya untuk merespon Pemilu, yang salah satunya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan merupakan suatu kehendak yang didasari keprihatinan luhur, demi tercapainya Pemilu yang berkualitas. Suatu Pemilu/Pemilihan yang dijalankan tanpa mekanisme dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri, maka akan menjadikan Pemilu sebagai proses pembentukan kekuasaan yang sarat dipenuhi dengan berbagai segala kecurangan.
Dalam situasi demikian itu, Pemilu telah kehilangan legitimasinya dan Pemerintahan yang dihasilkan pun sesungguhnya juga tidak memiliki legitimasi pula. Ketika berangkat dari pemahaman demikian, dan dalam rangka menjamin tercapainya Pemilu/Pemilihan yang berkualitas dan demokratis, maka menurut hemat penulis tentu kita harus menjadikan pengawasan itu sebagai suatu kebutuhan dasar, karena pengawasan merupakan keharusan, bahkan merupakan elemen yang melekat pada setiap Pemilu baik nasional maupun lokal. Pengawasan Partisipatif merupakan bagian dari manifestasi kedaulatan rakyat dan penguatan partisipasi politik masyarakat.
Pada Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Tahun 2018 yang pelaksanaannya secara serentak dengan 101 Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, dan secara bersamaan pula akan berlangsung Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara serentak Tahun 2019, maka tentu kita semua sangat berharap agar semakin terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat agar kiranya proses demokrasi di level Nasional maupun Lokal ini bisa terlaksana secara jujur dan adil, sekaligus dapat menciptakan kepemimpinan yang memiliki legitimasi kuat.
Hal ini didasarkan pada pemahaman dan kesadaran kita bersama bahwa ketika proses penyelenggaraan Pemilihan Umum/Pemilihan hanya menjadi ajang serimonial politik belaka yang menafikan partisipasi politik masyarakat, maka kita tidak dapat menemukan pendidikan dan pembelajaran politik yang baik bagi proses demokrasi, karena sesungguhnya pengawasan partisipatif ini merupakan ruang pembelajaran politik bagi semua pihak, dan sebagai pengawalan atas hak dasar warga Negara yaitu hak suara untuk tidak disalahgunakan.
Pelibatan Masyarakat luas dalam pengawasan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota adalah merupakan upaya kongkrit pencegahan terhadap pelanggaran Pemilu/Pemilihan. Pelibatan Masyarakat juga akan memasifkan proses internalisasi nilai-nilai demokrasi, prinsip-prinsip pemilu demokratis, dan semangat konstitusionalisme UUD 1945. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam pengawasan partisipatif selain sebagai upaya pencegahan pelanggaran sedini mungkin, juga merupakan kegiatan pendidikan politik masyarakat, yang bertujuan meminimalisir kasus-kasus pelanggaran dan sengketa pemilu yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pemilu.
Oleh karena itu untuk efektivitas pelaksanaan tugas Bawaslu dan jajaran pengawasan yaitu; untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya pemilu yang demokratis, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan pengawasan partisipatif adalah; i). Bawaslu dan jajaran pengawas pada semua tingkatan perlu mengidentifikasi upaya dan langkah-langkah kongkrit apa saja yang dapat ditempuh untuk meningkatkan partisipasi publik; ii). Bawaslu dan jajaran pengawas pada semua tingkatan perlu mengidentifikasi informasi seperti apa yang harus perlu dipublikasikan untuk mendorong pengawasan partisipatif dari publik. S E M O G A !!!