Format Papua.Ist |
Yogyakarta, (KM)--Sweeping dan patroli mantap praja yang dilakukan aparat kepolisian di Moanemani, Ibu Kota Kabupaten Dogiyai, Papua Desember dan Januari telah mendapat perhatian publik. Komnas HAM menerima berbagai informasi dan laporannya meminta perhatian karena berbeda dengan tindakan patroli dan kepolisian sebagaimana lazimnya.
Komnas HAM merespons degan melalui pemantauan langsung dan mendengar keterangan dari masyarakat, juga dengan dari kapores tersebut pada tanggal 28/01/2017.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Dengan mendengar dan mencatat penjelasan dari masyarakat Dogiyai yang merupakan korban sweeping, saksi, Pemerintah daerah dan kepolisian pihak kepolisian sementara ini Komnas HAM menemukan beberapa fakta sebagai berikut:
1). Sweeping dilakukan saat Kamtibmas Kabupaten Dogiyai masih aman dan kondusif tanpa adanya indikasi kuat adanya bahaya konflik vertikal dan horisontal. Dilakukan juga tanpa ijin dan pemberitahuan dari pemerintah daerah sebagai penanggung jawab keamanan wilayah berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan konflik.
2). Sweeping tidak hanya senjata tajam (sajam) namun juga dilakukan terhadap peralatan kerja seperti pisau dapur, cangkul, parang, kapak, mengambil harta benda hak milik pribadi seperti Hand Phone, Uang dan lain sebagainya. Peralatan tersebut diatas alat penunjang kebutuhan hidup sehingga berpotensi mengancam bahaya kelaparan dan ancaman kehidupan atau keberlanjutan hidup masyarakat Dogiyai.
3). Sweeping ditujukan kepada warga sipil dilakukan dengan 2 jenis kekerasan yaitu kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Selain kekerasan fisik dengan menganiaya dan melukai warga juga dilakukan kekerasan verbal dengan mengeluarkan kata kata yang merendahkan martabat manusia seperti; kotor, jorok, hitam, bau, gimbal dan lain sebagainya.
4) Sweeping dilakukan secara diskriminatif Karena hanya ditujukan pada orang Papua asli yang beretnik papua Melanesia. Hal ini mengabaikan prinsip nondiskriminatif dalam pelaksanaan tugas kepolisian dan juga bertentangan dengan konvensi anti diskriminasi Ras dan Etnik.
5) adanya penahanan secara paksa dan sewenang-wenang dan tidak manusiawi warga sipil saat tindakan Sweeping dilakukan
6). Tindakan kepolisian menyebabkan adanya rasa ketakutan tercipta diseluruh wilayah Dogiyai. Hal ini bertentangan dengan prinsip bahwa setiap orang terhindar dari rasa ketakutan dalam kehidupannya. Perasaan takut, sudah tidak nyaman hidup di Dogiyai ini sungguh-sungguh terasa di semua perkampungan.
Maka Komnas HAM menyatakan kesimpulan sementara bahwa: Sweeping cenderung kurang koordinatif, kurang prosedural dan dilakukan secara berlebihan (exesive use of power), kekerasan, perampasan harta benda milik pribadi, tindakan segregatif dan diskriminatif bagi orang asli papua (papua phobia) dengan merendahkan martabat Luhur manusia.
Selanjutnya hasil pantauan ini akan disampaikan kepada Polda Papua dan Mabes Polri agar ditindaklanjuti sesuai dengan proses penegakkan disiplin. Adapun upaya tindak-lanjut yang diperlukan dan harapkan sebagaimana permintaan masyrakat; pemeriksaan internal atas indisipliner anggota, penyegaran (refreshing) sebagai bagian dari tanggung jawab komando untuk menormalisasi hubungan dengan rakyat juga membangun kepercayaan (Trust Bullding) dan tidak terulangnya tindakan dan perbuatan yang sama pada masa yang akan datang. Akhirnya pentingnya jaminan pelaksanaan tugas kepolisian berbasis Hak asasi manusia sebagaimana amanat Perkap nomor 8 tahun 2009. Demikian. (Manfred/KM)
(Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI)