"Pemerintahan Jokowi – JK belum bisa menyelesaikan masalah fasilitas kesehatan yang mahal dan rumit. Fasilitas kesehatan yang murah dan dekat tidak dirasakan oleh masyarakat di daerah pinggiran khususnya daerah timur Indonesia.Apakah Puskesmas di sana terjangkau secara jarak olehmasyarakat ? Yang kitat akutkan, jangan sampai pasien kritis terlambat menerima penangana nmedis," kata Sahat di Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Pegiat sosial seperti mendapat "angin surga" ketika mendengar revolusi mental Jokowi yang dua tahun lalu didengungkan.Namun ukuran perkembangan revolusi mental belum bisa diukur kearah yang menggembirakan.
"Dalam catatan kita, kita masih ingat apa yang dikatakan Presiden Jokowi untuk mencapai revolusi mental adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Namun, terjadinya penahanan sepihak yang dilakukan oleh Polri terhadap Pdt. Sugianto di Lampung, menandakan terjadi pembangkangan terhadap Revolusi Mental yang diinginkan Presiden," tuturSahat.
Pendeta Sugianto hanya salah satu contoh korban dari revolusi mental yang tidak diurus oleh pemerintahan Jokowi. Dia ditangkap karena melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap masyarakat tani yang melawan penindasan dan pembodohan oleh pengusaha dan penguasa.
Kasus yang dialam iPdt. Sugianto memperlihatkan, aparatur penegakan hukum mentalnya belum mengalami revolusi. "Presiden seharusnya menindak keras para bawahannya yang melenceng dari semangat Revolusi Mental. Seharusnya masalah masyarakat dan perusahaan dalam sengketa lahan tidak menimbulkan korban kesewenangan dari aparat hukum, tuturSahat yang merupakan alumni S1 dan S2 dari Institut Teknologi Bandung ini.
Selain itu, Sahat menyebutkan pendidikan yang tidak merata masih terlihat nyata di tengah masyarakat. Pendidikan yang berkualitas belum hadir di daerah-daerah tertinggal. Menurutnya, ada kecenderungan bagi guru-guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara enggan ditugaskan ke daerah tertinggal.
"Laporan dan studi teman-teman yang ada di daerah, pendidikan yang berkualitas dan merata belum hadir di tengah-tengah masyarakat di Timur Indonesia seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku. Ketersediaan tenaga pendidik tidak mencukupi. Untuk itu, pemerintah harus meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru di daerah tertinggal dan terluar," ujarSahat.
Koordinator Wilayah GMKI untukwilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, Theo Cosner menambahkan, pemerintah masih membiarkan intoleransi terjadi di tengah pemerintah. Isu SARA masih menjad ipersoalan yang dihadapi masyarakat.
"Kita dapat melihat pemerintah membiarkan persoalan jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Di Banten, ada penolakan terhadap Kapolda yang bukan beragama mayoritas. Pilkada DKI Jakarta masih menggunakan isu SARA sebagai wacana menyerang para kandidat. Dan di kampus UNPAD, pemberian beasiswa harus memenuhi syarat yang berdasarkan agama tertentu," jelas Theo.
Theo menambahkan, pembangunan di beberapa daerah di Banten dan Jawa Barat masih tidak merata dan tertinggal. Di Jakarta dan Bandung, warga dipindahkan dengan alasan tempat tinggal yang lebih manusiawi, namun proses pemindahan dilakukant anpa dialog yang manusiawi.
Sahat menyampaikan, Presiden Jokowi sebenarnya sudah menunjukkan kebijakan yang baik dan bergerak dengan cepat untuk menjalankan program-program.Sayangnya, tidak semua bawahannya dapat mengikuti ritme gerak Jokowi. Maka Presiden harus selalu mengevaluasi kinerja para bawahannya agar setiap target bisa tercapai.
Terakhir, Sahat akan menginstruksikan kepada seluruh cabang se-Indonesia untuk terus melakukan kritik yang konstruktif terhadap janji-janji Jokowi. "Ini cara kita untuk terus menjadi mitra masyarakat dan pemerintah yang mengawal pemerintahanJokowi-JK," tegasSahat.(*)