BUNI YANI, Upaya Membungkam "Sikap Kritis"


BUNI YANI

Oleh: Joko Santoso HP*

Usia Buni Yani beberapa tahun di bawah saya. Namun saya memanggilnya "Pak". Enam atau tujuh tahun lalu saya sempat ikut kelasnya di S2 untuk mata kuliah "Komunikasi Bisnis". Kala itu saya tak sempat mengikuti ujian yang diberikan karena ia harus menyelesaikan penelitiannya ke Belanda.
Saya mengambil kuliah S2 (bahkan juga S3 sekarang ini) tak dinawaitui demi karir; kenaikan jabatan atau keharusan syarat akademis. Meneruskan kuliah -- selain karena bujukan kawan2 yang lebih dulu PhD atau Doktor -- lebih didorong oleh keinginan untuk "berselancar mental", atau meminjam istilah Rendra: "menjelajahi hutan2 yang belum terjelajahi".

Akibatnya apa? Saya sangat pemilih dosen. Ibarat kadet penerbang, saya tak peduli apakah kelak bakal memperoleh brevet atau tidak. Saya lebih berpikir : dosennya enak atau nggak. Diskusi di kelasnya nyambung atau nggak. Gelar Profesor dan doktor yang berderet-deret tak menjamin saya bakal krasan mengikuti kuliah. Itu sebabnya mengapa S2 saya relatif lambat. Dan rasanya juga S3 yang sekarang ini, hahaha...

Tak selesai satu semester saya mengikuti kuliahnya Pak Buni. Saya harus mengatakan bahwa Buni Yani adalah salah satu dosen favorit saya kala itu. Sejumlah dosen lain yang harus saya sebut mengesankan cara mengajarnya antara lain adalah Hifni Alifahmi dan Eko Harry Susanto.

Apa kriteria "dosen yang mengesankan" itu?

25 tahun saya lewati karir sebagai pekerja kreatif di industri komunikasi periklanan; dua kali pemimpin redaksi media cetak dan stasiun televisi, sempat "nyangkut" lima tahun di Senayan. Meski pernah beberapa kali memperoleh training internasional di sejumlah negara, saya tetap merasa diri sebagai "pekerja kreatif" gaya bebas, lateralis tulen, yang sering percaya bahwa ide kreatif memercik ibarat -- maaf, tak ada niat melecehkan agama-- wahyu. Atau setidaknya, ilham.

Eko Harry, Hifni Alifahmi dan Buni Yani membuat kuliah jadi mengasyikkan. Mereka seperti menatih saya menunjukkan bahwa selain "kreatif", juga ada "sayap" lain yang bisa membuat saya mengepak melayang di langit...

Buni, di mata saya adalah seorang peneliti yang detil. Dengan senang hati kala itu saya menjadi salah satu respondennya ketika ia meneliti sejarah musik. Saya ikut mengkopikan beberapa literasi tentang blues dan Rollies, juga God Bless semasa Clover Leaf. Kuliah Komunikasi Bisnis yang ia berikan sangat runtut, sangat akademik, namun tetap memberi ruang kepada "kreatif" (di mata saya Buni bukan orang kreatif) sebagai salah satu komponen di dalam bisnis komunikasi.

Maka saya sangat terkejut ketika mendengar ia diperkarakan. Bahwa Buni Yani kritis, ya. Tapi ia sama sekali bukan seorang "hater". Jangan pernah samakan Buni dengan para penulis kalap yang bertebaran di media sosial. Lebih dari itu, Buni juga bukan "pendukung politik" seseorang. Ia kritis bukan dalam rangka mendukung atau menjatuhkan seseorang. Ia kritis karena sebagai peneliti harus kritis terhadap apapun. Dan, catat ini: dengan sandaran keilmuan!

Saya mendengar di media bahwa namanya disebut sebagai "Si Buni Yani" sehingga bisa diakronimkan sebagai "SBY". Oh... siapapun Anda yang memperkarakan... rupanya ingin menggelembungkan kekritisan Buni sebagai komoditi politik? Dengan "mendekatkannya" ke singkatan "SBY"? Keliru besar, bung! Buni juga sangat kritis terhadap presiden SBY... terhadap siapapun!

Maka kepada yang memperkarakan Buni Yani atas tulisannya di Facebook, saya ingin mengatakan seperti ini:

(1) Yang Anda perkarakan sesungguhnya bukanlah orang yang bernama Buni Yani, tapi "sikap kritis". Bisa jadi posisi Anda saat ini menjadikan Anda harus memperkarakan "sikap kritis". Namun percayalah. Jika Anda benar2 masih mencintai Indonesia... semua orang akan membutuhkan "sikap kritis" itu untuk membangun negeri.

(2) Yang kedua... bukan hanya Buni Yani yang kritis. Masih ada jutaan anak bangsa lain yang kritis. Dan mereka tak akan bisa diam menyuarakan kebaikan.

(3) Ketiga... percayalah, Buni bukan tipikal orang yang mau mengedit video hanya untuk meraih sensasi. Buni adalah peneliti yang sangat akademis. Pekerjaan mengedit video untuk sebagaimana yang dituduhkan adalah sesuatu yang nista bagi orang semacam Buni.

Saran saya sebagai pekerja komunikasi kreatif... stop politisasi Buni Yani! Kekuasaan itu, kata Freddy Mercury, "easy come easy go". Gampang pergi, segampang hadirnya. Sikap kritis harus selalu kita berikan tempat yang sebaik-baiknya.... tak peduli kita tengah menggenggam kekuasaan atau tidak. Dengan cara itu bersama-sama kita muliakan Indonesia.

Salam hormat untuk pak Buni Yani ... betapa bahagianya menjadi diri sendiri pak.

___
*sumber: fb


Subscribe to receive free email updates: